Bendera Bulan Bintang Kembali Viral di Aceh: Simbol Perdamaian atau Penanda Konflik Lama?
Gam-Instagram-
Bendera Bulan Bintang Kembali Viral di Aceh: Simbol Perdamaian atau Penanda Konflik Lama?
Sebuah aksi pengibaran bendera Bulan Bintang di wilayah Aceh kembali mencuri perhatian publik nasional. Video yang beredar luas di media sosial memperlihatkan iring-iringan truk terbuka yang berangkat dari Beureunuen, Kabupaten Pidie, membawa sejumlah orang yang secara terbuka mengibarkan bendera merah dengan lambang bulan sabit dan bintang putih tersebut. Aksi tersebut memicu ketegangan di jalanan saat aparat TNI mencegah rombongan melanjutkan pengibaran bendera di wilayah Lhokseumawe, Aceh Utara.
Peristiwa ini bukan hanya menjadi sorotan lokal, tetapi juga memicu perdebatan nasional tentang makna, status hukum, dan sensitivitas historis dari simbol yang dikenal sebagai “Bendera Bulan Bintang” tersebut. Lantas, apa sebenarnya Bendera Bulan Bintang itu? Mengapa kehadirannya selalu memicu kontroversi meski Aceh telah lama berdamai?
Asal Usul Bendera Bulan Bintang: Dari Gerakan Perlawanan hingga Simbol Daerah
Bendera Bulan Bintang secara visual terdiri dari latar berwarna merah menyala dengan lambang bulan sabit dan bintang berwarna putih di tengahnya. Desain yang sederhana namun sarat makna ini pertama kali digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 sebagai simbol perjuangan politik dan identitas rakyat Aceh dalam menuntut kemerdekaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selama puluhan tahun, bendera ini menjadi ikon perlawanan dan semangat perjuangan di kalangan simpatisan GAM. Namun, setelah Perjanjian Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005—yang mengakhiri konflik bersenjata selama hampir tiga dekade antara GAM dan pemerintah Indonesia—status simbol-simbol perjuangan Aceh pun mulai berubah.
Dalam kerangka perdamaian tersebut, Aceh diberi otonomi khusus yang luas, termasuk hak untuk memiliki simbol daerah seperti bendera, lambang, dan himne. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pemerintah daerah diberi ruang untuk mengekspresikan identitas budaya dan sejarahnya—namun tetap dalam koridor NKRI.
Status Hukum: Disahkan di Aceh, Ditahan di Tingkat Nasional
Pada tahun 2013, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) secara resmi menetapkan Bendera Bulan Bintang sebagai bendera resmi Provinsi Aceh. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari upaya memperkuat identitas lokal dan menghargai sejarah perjuangan rakyat Aceh. Bendera ini kemudian digunakan dalam berbagai acara resmi pemerintahan daerah, upacara adat, hingga even budaya.
Namun, di tingkat nasional, pemerintah pusat—khususnya Kementerian Dalam Negeri dan TNI—masih menilai bahwa desain bendera ini terlalu mirip dengan simbol GAM yang pernah menjadi kelompok separatis. Oleh karena itu, penggunaannya di ruang publik yang bersifat nasional masih dibatasi dan tidak diakui secara resmi sebagai simbol kenegaraan.
Akibatnya, muncul jurang interpretasi antara pemerintah daerah dan pusat. Di satu sisi, masyarakat Aceh melihat bendera ini sebagai representasi identitas dan kebanggaan lokal. Di sisi lain, aparat keamanan khawatir pengibarannya di ruang publik dapat memicu provokasi atau disalahartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara.
Ketegangan di Lhokseumawe: Ketika Sejarah Bertemu Kehati-hatian Aparat
Kembali ke peristiwa terbaru di Lhokseumawe, ketegangan sempat terjadi ketika rombongan yang mengibarkan bendera Bulan Bintang dihentikan oleh aparat TNI. Saksi mata melaporkan bahwa situasi sempat memanas, meski akhirnya berhasil diredakan tanpa insiden fisik.
Pihak TNI menjelaskan bahwa tindakan mereka didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional, mengingat sensitivitas simbol tersebut di luar konteks lokal Aceh. Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat Aceh menegaskan bahwa pengibaran bendera tersebut bukan bentuk provokasi, melainkan ekspresi budaya dan penghormatan terhadap sejarah.
“Ini bendera kami, simbol perdamaian sekarang. Kami bukan lagi berjuang untuk merdeka, tapi untuk menjaga martabat Aceh dalam NKRI,” ujar seorang tokoh adat setempat yang enggan disebutkan namanya.