Pernyataan Menag Nasaruddin Umar soal Kekerasan Seksual di Pesantren Tuai Gelombang Kritik: Apakah Media Memang Membesar-besarkan?

Nazaruddin-Instagram-
Pernyataan Menag Nasaruddin Umar soal Kekerasan Seksual di Pesantren Tuai Gelombang Kritik: Apakah Media Memang Membesar-besarkan?
Pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar baru-baru ini mengenai kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren memicu gelombang kontroversi di kalangan publik, aktivis hak anak, serta komunitas pendidikan keagamaan. Dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Menag menyatakan bahwa pemberitaan media terkait kekerasan seksual di pesantren “dibesar-besarkan” dan jumlah kasusnya sebenarnya “hanya sedikit.” Pernyataan tersebut langsung menuai kecaman luas, lantaran dianggap meremehkan penderitaan korban dan mengabaikan kompleksitas isu perlindungan anak di institusi pendidikan berbasis agama.
Pernyataan Kontroversial di Tengah Krisis Kepercayaan
Dalam forum yang digelar pekan lalu, Nasaruddin Umar mengatakan, “Keberadaan kejahatan seksual di pesantren itu hanya sedikit, tapi dibesar-besarkan oleh media.” Kalimat ini sontak menjadi sorotan utama di media sosial dan platform berita nasional. Banyak pihak menilai pernyataan tersebut tidak hanya tidak sensitif, tetapi juga bertentangan dengan data dan realitas lapangan yang selama ini diungkap oleh lembaga-lembaga independen.
Bagi para korban dan keluarga mereka, pernyataan Menag justru memperkuat budaya tabu dan stigma yang selama ini menghambat pelaporan kasus kekerasan seksual. Di tengah upaya nasional untuk memperkuat sistem perlindungan anak, pernyataan semacam ini dinilai kontraproduktif dan berpotensi menghambat langkah-langkah pencegahan serta penanganan yang lebih serius.
Data vs Narasi: Fakta di Balik Angka “Sedikit”
Meski Menag menyebut angka kasus kekerasan seksual di pesantren “sedikit,” para peneliti dan aktivis menekankan bahwa rendahnya angka pelaporan bukan berarti kasusnya tidak ada atau tidak serius. Justru sebaliknya—banyak korban memilih diam karena tekanan sosial, rasa malu, takut diasingkan, atau bahkan khawatir tidak dipercaya oleh pihak berwenang.
Laporan terbaru dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkap fakta mengejutkan: santri laki-laki ternyata lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan santri perempuan. Temuan ini bertentangan dengan asumsi umum yang selama ini menganggap perempuan sebagai satu-satunya kelompok rentan dalam kasus kekerasan seksual.
Penelitian PPIM juga menunjukkan bahwa banyak pesantren masih minim sistem pengawasan internal dan mekanisme pelaporan yang aman bagi korban. Hal ini menciptakan celah besar bagi pelaku untuk terus beraksi tanpa konsekuensi hukum atau sosial yang memadai.
Respons Publik: Empati yang Hilang dan Suara Korban yang Terpinggirkan
Reaksi masyarakat terhadap pernyataan Menag Nasaruddin Umar sangat keras, terutama di media sosial. Ratusan unggahan mengecam sikap yang dianggap tidak empatik terhadap korban. Salah satu pengguna Twitter dengan akun @raiSaRi6 menulis, “Ketika korban berani bersuara setelah bertahun-tahun trauma, jangan malah dikatakan ‘dibesar-besarkan’. Ini bukan soal angka, tapi soal nyawa dan masa depan anak-anak kita.”
Aktivis perlindungan anak dari Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) juga angkat suara. Mereka menegaskan bahwa pernyataan pejabat publik seharusnya memperkuat iklim aman bagi korban untuk melapor, bukan justru membuat mereka merasa bersalah atau ragu untuk bersuara.
“Kami meminta Kementerian Agama untuk tidak menafikan realitas yang dihadapi korban. Justru inilah saatnya memperkuat pengawasan, edukasi, dan sistem perlindungan di seluruh pesantren di Indonesia,” tegas seorang perwakilan LPAI dalam rilis resminya.
Peran Media: Menyuarakan yang Tak Tersuarakan
Salah satu poin krusial dalam polemik ini adalah peran media. Menag menyebut media “membesar-besarkan” kasus, namun justru media-lah yang selama ini menjadi saluran utama bagi korban dan keluarganya untuk mendapatkan keadilan. Tanpa pemberitaan investigatif dan liputan mendalam, banyak kasus kekerasan seksual di pesantren mungkin akan terkubur dalam diam.