Wisatawan Lansia Dipalak Rp150 Ribu di Bangsring Underwater Banyuwangi, Pengelola Desa Didesak Bertindak Tegas
uang-pixabay-
Wisatawan Lansia Dipalak Rp150 Ribu di Bangsring Underwater Banyuwangi, Pengelola Desa Didesak Bertindak Tegas
Meta Description (Opsional):
Sebuah rombongan wisatawan lansia asal Surabaya dipaksa membayar uang “pengawalan” Rp150 ribu saat meninggalkan destinasi wisata Bangsring Underwater, Banyuwangi. Insiden ini memicu kecaman luas dan mengancam citra pariwisata daerah menjelang musim libur Natal dan Tahun Baru.
[Paragraf Pembuka – Lead yang Menarik]
Liburan yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan dan relaksasi berubah menjadi pengalaman traumatis bagi sekelompok lansia asal Surabaya. Saat berkunjung ke salah satu destinasi wisata bawah laut paling populer di Banyuwangi—Bangsring Underwater—mereka justru dihadang dan dipaksa membayar uang “pengawalan” sebesar Rp15 perpetrated0.000 oleh oknum tak dikenal. Insiden ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap keamanan dan profesionalisme sektor pariwisata daerah.
[Latar Belakang Tempat Wisata]
Bangsring Underwater, terletak di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur, dikenal sebagai salah satu spot snorkeling dan diving terbaik di Pulau Jawa. Daya tarik utamanya adalah keberadaan terumbu karang buatan berbentuk huruf “B” dan patung ikan duyung yang menjadi ikon selfie para wisatawan. Tempat ini dikelola oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) setempat dan selama ini menjadi andalan pariwisata Banyuwangi yang tengah giat membangun citra sebagai destinasi kelas dunia.
Namun, insiden terkini justru menodai upaya tersebut, terutama karena pelaku diduga berasal dari lingkaran pengelola atau warga sekitar yang mengaku mewakili “aturan desa.”
[Kronologi Kejadian Secara Detail]
Menurut keterangan saksi mata, rombongan lansia yang terdiri dari puluhan orang tersebut tiba di Bangsring Underwater pada Sabtu (13/12/2025) pagi. Mereka telah membayar tiket masuk sesuai tarif resmi dan biaya parkir kendaraan sebesar Rp25.000. Semua berjalan lancar hingga saat bus mereka hendak meninggalkan kawasan wisata pada siang hari.
Tiba-tiba, dua orang pria menghadang bus di pintu keluar. Salah satunya, berinisial BS, menuntut pembayaran tambahan sebesitud Rp150.000 dengan alasan “pengawalan” dari lokasi wisata menuju jalan raya. Padahal, jalur tersebut merupakan jalan umum yang bebas dilalui siapa saja tanpa pengawalan khusus.
Timothy, sang pemimpin rombongan yang juga merupakan jurnalis media nasional, langsung mempertanyakan dasar hukum permintaan tersebut. “Kami sudah bayar semua biaya resmi. Tiket masuk sudah lunas, parkir juga sudah dibayar. Lalu, uang Rp150 ribu ini untuk apa?” tegasnya.
[Respons Pelaku dan Bukti yang Dipertanyakan]
BS bersikeras bahwa uang tersebut adalah bagian dari “aturan desa” yang berlaku sejak lama. Ia bahkan mengancam akan menahan bus jika uang tidak segera diserahkan. Namun, ketika diminta menunjukkan dokumen resmi—seperti surat keputusan desa, peraturan daerah, atau tanda terima yang sah—BS hanya bisa berkilah. Ia mengaku bukti tersebut tersimpan di rumahnya.
Setelah didesak lebih lanjut, BS akhirnya memberikan selembar kertas berupa kwitansi tulisan tangan tanpa kop desa, tanpa stempel resmi, dan tanpa nomor registrasi. Dokumen tersebut jelas tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak bisa dianggap sebagai dasar penarikan biaya resmi.
[Dampak Psikologis dan Keputusan Terpaksa]
Para lansia di dalam bus mengaku merasa takut dan tertekan. Beberapa di antaranya bahkan mengalami kecemasan akibat tekanan psikologis yang tiba-tiba muncul di penghujung perjalanan wisata mereka. Untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dan demi keselamatan seluruh anggota rombongan, pihak Timothy terpaksa menyerahkan uang yang diminta.
“Kami tidak mau ambil risiko. Mereka semua sudah lelah, dan kondisi psikologis mereka harus diutamakan,” ungkap Timothy, yang tetap menegaskan bahwa tindakan tersebut jelas merupakan bentuk pemalakan.
Ketua Asosiasi Pokdarwis Banyuwangi, Abdul Aziz, menyatakan keprihatinannya atas kejadian tersebut. Menurutnya, insiden semacam ini sangat merugikan citra pariwisata Banyuwangi, terutama menjelang masa puncak libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang biasanya menjadi musim panen bagi pelaku usaha pariwisata lokal.