Aksi Bakar Pertokoan di Kalibata Berujung Tragedi Kemanusiaan, Gubernur Pramono Anung Tegas: Ini Jadi Beban Jakarta!
kebakaran-AlexAntropov86/pixabay-
Aksi Bakar Pertokoan di Kalibata Berujung Tragedi Kemanusiaan, Gubernur Pramono Anung Tegas: Ini Jadi Beban Jakarta!
Sebuah insiden kekerasan yang berawal dari sengketa penagihan utang berujung pada tragedi kemanusiaan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Aksi balas dendam berupa pembakaran pertokoan, kios, warung, hingga kendaraan bermotor mencoreng citra Ibu Kota sebagai pusat pemerintahan yang seharusnya aman dan tertib. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengecam keras peristiwa tersebut dan menegaskan bahwa praktik premanisme berkedok penagihan—yang kerap disebut “mata elang”—tidak boleh dibiarkan merusak tatanan sosial masyarakat.
Insiden tragis ini berawal dari konflik seputar utang sepeda motor yang tak kunjung dilunasi. Pemilik kendaraan, yang merasa tidak menerima sepeser pun pembayaran, akhirnya mengerahkan dua penagih—dikenal dengan sebutan “matel”—berinisial MET dan NAT. Namun, niat menagih justru berakhir dengan pengeroyokan brutal yang menewaskan keduanya pada Kamis, 11 Desember 2025. Emosi massa yang membara pasca-kematian tersebut memicu aksi vandalisme masif: puluhan properti warga dibakar, menimbulkan kerugian material dan trauma sosial yang tak ternilai.
Gubernur: Dari Masalah Kecil Menjadi Beban Besar
Dalam keterangannya di Balai Kota DKI Jakarta, Sabtu (13/12), Pramono Anung menegaskan bahwa peristiwa di Kalibata bukan hanya sekadar keributan lokal, melainkan potensi ledakan sosial yang bisa menggerogoti stabilitas keamanan Jakarta jika tidak ditangani dengan serius.
“Awalnya memang kelihatannya kecil—ada mata elang yang menagih kepada kelompok tertentu—namun kemudian berkembang menjadi kekerasan dan saling balas-membalas. Jika dibiarkan, ini justru menjadi beban besar bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya dengan nada prihatin.
Menurut Pramono, praktik penagihan ilegal yang kerap disamarkan sebagai usaha swasta telah lama menjadi masalah laten di berbagai wilayah Ibu Kota. Modus operandi mereka—mengintimidasi, mengancam, bahkan menggunakan kekerasan—tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.
Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Sebagai respons cepat, Gubernur Pramono menyatakan telah berkoordinasi erat dengan aparat kepolisian untuk menindak tegas pelaku di balik aksi premanisme dan kekerasan tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak akan ada ruang bagi siapa pun yang mencoba mengambil hukum ke tangan sendiri.
“Saya sudah berkoordinasi dengan aparat kepolisian, dan saya telah meminta agar penegakan hukum diterapkan secara tegas terhadap praktik-praktik semacam ini,” tegas Pramono.
Lebih jauh, ia memberikan kewenangan penuh kepada aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus ini sesuai koridor hukum yang berlaku. “Saya tidak mau kejadian seperti ini terulang kembali di Jakarta. Maka untuk itu, saya memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Biarkan mereka menyelesaikan terlebih dahulu sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.
Tragedi Kemanusiaan di Balik Konflik Utang
Di balik narasi kekerasan dan pembakaran, terdapat kisah manusia yang kerap terabaikan. MET dan NAT, dua penagih utang yang menjadi korban pengeroyokan, adalah individu-individu yang mungkin terpaksa terlibat dalam sistem ekonomi informal yang rentan dan berbahaya. Mereka bekerja dalam bayang-bayang ancaman, baik dari debitur maupun sistem penagihan yang tidak transparan.
Sementara itu, kelompok masyarakat yang merasa terancam oleh praktik “mata elang” pun tidak serta-merta bersalah. Banyak di antara mereka yang hidup di garis kemiskinan, terjebak dalam jaring utang rentenir, dan tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Ketika tekanan menumpuk, ledakan emosi—meski tak dibenarkan—menjadi cerminan dari frustrasi sosial yang mendalam.