Tragedi Banjir dan Longsor di Sumatera: Bencana Alam atau Akibat Keserakahan Manusia? Refleksi Khutbah Jumat 5 Desember 2025

Tragedi Banjir dan Longsor di Sumatera: Bencana Alam atau Akibat Keserakahan Manusia? Refleksi Khutbah Jumat 5 Desember 2025

masjid-bouassa/pixabay-

Tragedi Banjir dan Longsor di Sumatera: Bencana Alam atau Akibat Keserakahan Manusia? Refleksi Khutbah Jumat 5 Desember 2025

Pagi ini, langit Sumatera tampak kelabu bukan hanya karena awan hujan, tetapi juga oleh duka yang menggumpal di hati jutaan rakyat Indonesia. Dalam sepekan terakhir, tiga provinsi di Pulau Sumatera—Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh—dilanda bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan lebih dari 760 jiwa, meninggalkan 650 orang hilang, serta memaksa ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal. Infrastruktur hancur, sekolah dan masjid terendam lumpur, lahan pertanian lenyap disapu arus—dan di balik semua ini, muncul pertanyaan yang menggugah nurani: Apakah ini azab Tuhan, atau akibat kelalaian kita sendiri?



Khutbah Jumat 5 Desember 2025, yang disampaikan di ribuan masjid di seluruh negeri, mengangkat tema yang sangat relevan: “Kerusakan Alam Akibat Ulah Tangan-Tangan Manusia yang Serakah, yang Memicu Bencana di Mana-Mana.” Khutbah ini bukan hanya ajakan untuk berdoa, tetapi juga seruan sadar lingkungan berbasis ajaran Islam yang mendalam dan kontekstual.

Bukan Azab, Tapi Konsekuensi dari Perusakan Alam
Di tengah kabar duka yang menyayat hati, muncul berbagai narasi di media sosial dan ruang publik. Ada yang menyebut bencana ini sebagai “azab dari langit” karena dosa-dosa masyarakat. Ada pula yang menghubungkannya dengan ketidakpatuhan terhadap syariat. Namun, khutbah Jumat kali ini menantang narasi tersebut dengan dasar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lingkungan.

Khatib menegaskan: “Musibah ini bukan semata-mata azab, melainkan akibat nyata dari kerusakan ekosistem yang kita ciptakan sendiri.” Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru bumi dan penahan air hujan, kini gundul akibat penebangan liar, ekspansi perkebunan, dan pertambangan tanpa kendali. Akar pohon yang hilang berarti tanah tak lagi mampu menyerap air—dan ketika hujan deras datang, yang tersisa hanyalah banjir bandang dan longsor yang tak terbendung.


Al-Qur’an Menegaskan: Kerusakan di Darat dan Laut Disebabkan Tangan Manusia
Khatib mengutip Surat Ar-Rum ayat 41, ayat yang sangat relevan dengan kondisi hari ini:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ayat ini, menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, tidak menunjuk pada hukuman langsung, melainkan pada hukum sebab-akibat yang Allah tetapkan dalam alam semesta. Ketika manusia merusak keseimbangan alam—melalui deforestasi, polusi, atau eksploitasi sumber daya secara rakus—maka alam pun “melawan” dengan caranya sendiri: banjir, kekeringan, kebakaran hutan, hingga perubahan iklim.

Indonesia: Surga yang Terancam oleh Keserakahan
Indonesia, yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa, justru menjadi salah satu negara paling rentan terhadap bencana akibat ulah manusia. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 60% bencana hidrometeorologis—seperti banjir dan longsor—berakar pada degradasi lingkungan.

Di Sumatera, hutan primer terus menyusut akibat ekspansi kelapa sawit dan pertambangan ilegal.
Di Kalimantan, asap kebakaran hutan masih menjadi momok tahunan.
Di Papua, hutan tropis yang menjadi penyangga iklim global, kini terancam oleh eksploitasi ekonomi.
Sementara itu, perubahan iklim global—yang dipercepat oleh emisi karbon dari aktivitas manusia—memperparah intensitas hujan dan kekeringan. Negara-negara kepulauan kecil seperti Fiji, yang telah mencatat kenaikan permukaan laut hingga 6 mm per tahun, menjadi peringatan dini: jika kita terus merusak, bukan hanya pulau-pulau kecil yang tenggelam, tapi juga masa depan generasi mendatang.

Islam Mengajarkan Tanggung Jawab Ekologis
Dalam khutbah tersebut, khatib menekankan bahwa iman dan takwa bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tanggung jawab menjaga bumi. Rasulullah SAW bersabda:

“Jika kiamat hendak tiba, sementara di tanganmu ada bibit kurma, maka tanamlah.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menggambarkan betapa pentingnya aksi nyata melestarikan alam, bahkan di saat dunia seolah berakhir. Menjaga lingkungan bukan pilihan, melainkan bagian dari ibadah dan amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Selain itu, khatib juga mengingatkan bahwa umat Nabi Muhammad SAW adalah umat yang dirahmati. Dalam Surat Al-Anfal ayat 33, Allah berfirman:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, selama engkau (Muhammad) berada di tengah mereka. Dan Allah tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampun.”

Artinya, selama masih ada orang yang berdoa, beristigfar, dan berusaha memperbaiki diri—termasuk memperbaiki hubungan dengan alam—maka rahmat Allah masih mengalir.

Baca juga: Refleksi Akhir Tahun dalam Khutbah Jumat 5 Desember 2025: Menyambut 2026 dengan Muhasabah, Bukan Euforia

Sumber:

l3

BERITA TERKAIT

Berita Lainnya