SBS Dikecam Publik Korea karena Perlakuan Tak Berempati Terhadap Ji Suk Jin di 2025 Entertainment Awards: Saat Duka Diubah Jadi Bahan Hiburan
Sbs-Instagram-
SBS Dikecam Publik Korea karena Perlakuan Tak Berempati Terhadap Ji Suk Jin di 2025 Entertainment Awards: Saat Duka Diubah Jadi Bahan Hiburan
Industri hiburan Korea kembali diguncang kontroversi. Kali ini, sorotan tajam mengarah pada stasiun televisi SBS menyusul insiden tak terlupakan yang terjadi dalam siaran langsung 2025 SBS Entertainment Awards. Entertainer senior Ji Suk Jin—nama yang sudah malang melintang di panggung hiburan Korea selama lebih dari tiga dekade—menjadi pusat perhatian bukan karena pencapaiannya, melainkan karena perlakuan tak berempati yang dialaminya di atas panggung penghargaan.
Momen yang seharusnya menjadi ajang penghormatan bagi para pelaku industri hiburan justru berubah menjadi panggung penderitaan emosional ketika tim produksi dan pembawa acara memilih untuk memasukkan detail pribadi Ji Suk Jin ke dalam narasi siaran—yakni kematian ibundanya yang baru saja terjadi. Yang lebih memicu kemarahan publik, informasi tersebut tidak hanya disampaikan secara terbuka, tetapi dikaitkan dengan penampilan fisik Ji Suk Jin, tepatnya penggunaan wig yang disiapkan oleh pihak produksi.
Saat Duka Jadi Bahan Candaan di Panggung Penghargaan
Ji Suk Jin, yang dikenal karena kepribadiannya yang hangat dan profesionalisme tinggi, sebenarnya telah menunjukkan sikap luar biasa di tengah kesedihan pribadinya. Ia tetap hadir di panggung 2025 SBS Entertainment Awards meski sedang berduka—sebuah komitmen yang patut diapresiasi. Namun, alih-alih menerima simpati, ia justru ditempatkan dalam situasi yang memalukan secara emosional.
Saat MC mengumumkan Ji Suk Jin sebagai salah satu kandidat penerima Daesang (Grand Prize)—penghargaan tertinggi dalam acara tersebut—mereka secara eksplisit menyebut bahwa entertainer berusia 56 tahun itu baru saja kehilangan ibunya. Lebih jauh lagi, mereka menambahkan bahwa tim produksi telah “mempersiapkan wig” karena Ji Suk Jin awalnya enggan memakainya. Kalimat penutup seperti, “Mohon pengertian penonton atas situasinya,” justru dianggap sebagai bentuk manipulasi emosi publik dan memaksa Ji Suk Jin tampil dalam kondisi rapuh.
Meski Ji Suk Jin berusaha mencairkan suasana dengan candaan ringan dan senyum khasnya, banyak penonton merasa bahwa momen tersebut telah melampaui batas etika jurnalisme hiburan. Di mata publik, menyandingkan duka mendalam dengan humor dan sorotan kamera nasional bukanlah bentuk hiburan, melainkan eksploitasi emosional.
Gelombang Kritik Mengalir Deras: “SBS Tidak Berperikemanusiaan!”
Respons publik tidak main-main. Dalam hitungan jam, media sosial Korea—terutama Twitter, Instagram, dan komunitas daring seperti Theqoo dan DC Inside—dibanjiri kritik pedas terhadap SBS. Ratusan ribu komentar menyebut tindakan stasiun televisi tersebut sebagai “tidak berperasaan”, “kejam”, bahkan “tidak manusiawi”.
Banyak warganet menyoroti bahwa Ji Suk Jin bukan sekadar pengisi acara, melainkan figur senior yang telah berkontribusi signifikan dalam membentuk lanskap variety show Korea modern. Namanya identik dengan acara-acara seperti Running Man, My Little Old Boy, dan Knowing Bros, di mana ia kerap menjadi penyeimbang suasana dengan kebijaksanaan dan kelembutannya.
“Mengapa harus membawa kematian ibunya ke panggung penghargaan? Ini bukan konten, ini nyata!” tulis salah satu pengguna Twitter.
“Ji Suk Jin pantas dihormati, bukan dijadikan alat untuk menarik rating. SBS kehilangan akal sehat,” tambah komentar lain yang telah dibagikan lebih dari 15 ribu kali.
Kontroversi yang Mengingatkan pada Pola Eksploitasi Masa Lalu
Yang membuat amarah publik semakin memuncak adalah fakta bahwa ini bukan pertama kalinya Ji Suk Jin “dijadikan bahan” demi menarik atensi penonton. Di masa lalu, ia kerap muncul dalam segmen yang menyoroti kondisi finansialnya atau masalah keluarganya—suatu praktik yang kerap dikritik sebagai bentuk “komedi berbasis penderitaan”.
Banyak penggemar berpendapat bahwa industri hiburan Korea, khususnya variety show, kadang lupa bahwa di balik setiap lelucon dan adegan lucu, ada manusia nyata dengan emosi dan luka. Penggunaan narasi pribadi untuk membangun dramatisasi acara dianggap melanggar batas privasi dan martabat seseorang, terutama seorang senior yang telah mencurahkan hidupnya untuk menghibur orang lain.