Dari Keluh Kesah Guru Honorer hingga Pemecatan: Kisah Pilu Nur Aini dan Dinamika Sistem Kepegawaian di Kabupaten Pasuruan
sekolah-moinzon-
Dari Keluh Kesah Guru Honorer hingga Pemecatan: Kisah Pilu Nur Aini dan Dinamika Sistem Kepegawaian di Kabupaten Pasuruan
Nama Nur Aini, seorang guru perempuan berusia 38 tahun asal Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sempat menjadi buah bibir publik pada akhir tahun 2025. Bukan karena prestasi mengajar atau inovasi pendidikannya, melainkan karena sebuah keluhan personal yang viral di media sosial: betapa beratnya perjalanan pulang-pergi dari rumahnya ke sekolah yang berjarak hampir 60 kilometer sekali jalan.
Namun, keluh kesah yang awalnya bernada meminta empati itu berujung pada keputusan kontroversial: pemberhentian tidak hormat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Pasuruan.
Keluhan Viral yang Berujung Nasib Pilu
Pada November 2025, video pendek yang menampilkan Nur Aini menjadi viral di berbagai platform media sosial. Dalam rekaman tersebut, ia menceritakan perjuangannya setiap hari menempuh perjalanan lebih dari dua jam untuk mencapai tempat tugasnya di SDN II Mororejo, Kecamatan Tosari—sebuah sekolah yang terletak di kawasan pegunungan kaki Gunung Bromo.
“Rumah di Bangil, [jarak berangkat ke sekolah] 57 kilometer, Pak,” ujarnya dalam video yang diunggah oleh kanal Advokat Cak Sholeh.
Perjalanan tersebut bukan sekadar jauh, tapi juga menantang. Jalur yang ditempuh melalui jalan menanjak, berliku, dan kerap berkabut tebal—kondisi yang memperberat risiko keselamatan dan kelelahan fisik. Dalam sehari, total jarak tempuh Nur Aini mencapai 114 kilometer, dengan biaya transportasi dan energi yang tak sedikit.
“Kulo (saya) ingin pindah ke Bangil, Pak, supaya dekat,” katanya dengan suara lirih, mencerminkan harapan sederhana seorang pendidik yang ingin tetap melayani tanpa mengorbankan keseimbangan hidup.
Respons Cepat, Sanksi Tegas
Alih-alih mendapat respons empatik dari institusi pemerintah, keluhan Nur Aini justru menuntunnya ke persidangan disiplin. BKPSDM Kabupaten Pasuruan melakukan evaluasi internal dan menemukan dugaan pelanggaran disiplin serius.
Devi Nilambarsari, Kepala Bidang Penilaian Kinerja Aparatur dan Penghargaan BKPSDM Kabupaten Pasuruan, menjelaskan bahwa Nur Aini terbukti tidak hadir mengajar selama 28 hari secara kumulatif dalam satu tahun tanpa alasan yang sah.
“Kategori pelanggaran berat bagi ASN adalah tidak masuk kerja tanpa alasan lebih dari 28 hari kumulatif dalam satu tahun,” ungkap Devi dalam keterangan resminya pada Rabu, 31 Desember 2025.
Aturan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, khususnya Pasal 4 huruf f, yang menekankan kewajiban kehadiran dan ketepatan waktu dalam menjalankan tugas.
“Bahkan, jika seorang ASN tidak masuk selama 10 hari berturut-turut tanpa alasan sah, sanksi pemberhentian sudah bisa diberlakukan,” tambah Devi.
Proses Hukum dan Penolakan Hadir
Sebelum keputusan final diambil, Nur Aini sempat dipanggil untuk menghadiri sidang disiplin. Namun, menurut keterangan BKPSDM, ia tidak pernah hadir dalam proses tersebut—meski surat panggilan telah dikirimkan berulang kali.
“Surat Keputusan pemberhentian dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sudah disampaikan langsung ke rumahnya karena saat pemanggilan ia tidak hadir,” tegas Devi.
Keputusan ini pun langsung berlaku efektif, dan Nur Aini resmi diberhentikan sebagai ASN per Desember 2025. Status kepegawaiannya dicabut, termasuk tunjangan, gaji, serta hak-hak kepegawaian lainnya.
Antara Empati Publik dan Kepatuhan Regulasi
Kasus Nur Aini memantik perdebatan luas di kalangan masyarakat, akademisi, dan aktivis pendidikan. Di satu sisi, banyak yang menilai bahwa sistem penempatan guru di Indonesia masih sangat kaku dan tak mempertimbangkan kondisi geografis atau kemanusiaan. Di sisi lain, pemerintah daerah menegaskan bahwa aturan kepegawaian harus ditegakkan demi menjaga disiplin dan akuntabilitas aparatur.
Ahli kebijakan pendidikan dari Universitas Negeri Malang, Dr. Rina Wulandari, mengatakan bahwa kasus ini mencerminkan keterputusan antara kebijakan struktural dan realitas lapangan.