Bahlil Lahadalia Tegaskan Aturan Tegas untuk SPBU Swasta: Tak Patuh, Siap-Siap Hadapi Konsekuensi!
Bahlil-Instagram-
Bahlil Lahadalia Tegaskan Aturan Tegas untuk SPBU Swasta: Tak Patuh, Siap-Siap Hadapi Konsekuensi!
Menteri ESDM Tegaskan Pentingnya Kepatuhan Regulasi dalam Pengelolaan Impor BBM, Ancam Sanksi bagi Operator yang Melawan Kebijakan Negara
Jakarta, 20 Desember 2025 – Ketegasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, kembali mencuat ke permukaan dalam isu pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) di Tanah Air. Dalam pernyataannya pada Jumat (19/12/2025), Bahlil memberikan ultimatum keras kepada operator stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta yang enggan mematuhi regulasi pemerintah. Ancaman tersebut bukan sekadar retorika—ia menegaskan bahwa pihak yang melawan aturan negara harus siap menghadapi konsekuensi hukum dan operasional.
"Badan usaha swasta yang mencoba-coba untuk mengatur dan melawan negara, tidak mentaati aturan negara, ya tunggu tanggal mainnya," ujar Bahlil kepada awak media di kantor Kementerian ESDM, Jakarta.
Pernyataan ini menyusul rencana penetapan kuota impor BBM untuk tahun 2026 yang sedang dalam proses finalisasi. Namun, menariknya, Bahlil enggan mengungkap identitas perusahaan swasta yang dimaksud. “Kamu kan tahu,” jawabnya singkat, memicu spekulasi luas di kalangan pelaku industri energi dan pengamat kebijakan publik.
Regulasi Impor BBM: Antara Kepatuhan dan Konsekuensi
Kementerian ESDM, menurut Bahlil, telah melakukan perhitungan matang terhadap kebutuhan impor BBM hanya bagi badan usaha hilir migas swasta yang taat aturan. Bagi pihak-pihak yang tidak mematuhi regulasi, ia menegaskan bahwa pemerintah belum dan tidak akan menghitung alokasi impor mereka.
"Kalau yang tertib kepada peraturan negara, saya sudah menghitung. Kalau yang tidak tertib, belum saya hitung,” tegasnya.
Sikap tegas ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional, terutama dalam sektor strategis seperti energi. Dalam konteks ini, regulasi impor BBM bukan hanya soal kuota, melainkan juga instrumen kontrol terhadap distribusi, harga, dan ketahanan energi nasional.
Proses Penetapan Kuota Impor 2026: Data Jadi Kunci
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), Laode Sulaeman, menjelaskan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan data lengkap konsumsi BBM di sepanjang tahun 2025. Data tersebut mencakup jenis bensin, solar, hingga avtur—bahan bakar vital bagi sektor penerbangan.
"Saya akan paparkan ke Pak Menteri semua, mulai dari bensin, avtur, solar. Nah, begitu beliau sudah setuju, kita umumkan [kuota impor BBM SPBU swasta]," ungkap Laode pada Selasa malam (9/12/2025).
Menurut Laode, penetapan kuota impor tahun 2026 tidak akan serta-merta mengikuti pola tahun sebelumnya. Pemerintah akan menggunakan data prognosa konsumsi BBM hingga akhir 2025 sebagai dasar perhitungan. Artinya, alokasi impor akan sangat dinamis dan responsif terhadap realitas pasar.
"Prognosis sampai dengan akhir tahun ini. Kita akan mengevaluasinya, bahkan konsumsi dia sampai dengan prognosis 2025 ini," tambahnya.
Selain itu, Kementerian ESDM juga membuka ruang fleksibilitas berupa tambahan kuota impor hingga 10% dari realisasi penjualan tahun depan—asalkan proposal diajukan secara transparan dan sesuai prosedur.
Kolaborasi dengan Pertamina: Strategi Cadangan Saat Kuota Habis
Fenomena menarik terjadi pada Agustus 2025 lalu, ketika kuota impor BBM bagi SPBU swasta habis lebih cepat dari perkiraan akibat lonjakan permintaan. Namun, alih-alih memberikan tambahan rekomendasi impor, Kementerian ESDM menolak permintaan tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan pasokan di hampir seluruh jaringan SPBU swasta di Indonesia.
Sebagai solusi jangka pendek, Bahlil mengambil kebijakan kolaboratif: SPBU swasta diarahkan untuk membeli base fuel—BBM dasaran tanpa aditif—langsung dari PT Pertamina (Persero). Langkah ini bertujuan memastikan kontinuitas pasokan sambil tetap menjaga integritas regulasi impor.
“Ya kolaborasi. Makanya sudah kita ajarkan dari sekarang untuk adanya kolaborasi tersebut,” papar Laode.
Pendekatan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis swasta dengan keamanan energi nasional. Pertamina, sebagai perusahaan pelat merah, menjadi penyangga utama saat mekanisme impor swasta mengalami tekanan.
Perubahan Regulasi: Dari 1 Tahun Menjadi 6 Bulan
Perlu dicatat, tahun 2025 menandai perubahan signifikan dalam kebijakan impor BBM swasta. Pemerintah memangkas durasi izin impor dari satu tahun menjadi hanya enam bulan. Meski demikian, kuota yang diberikan justru dinaikkan sebesar 10% dibanding realisasi tahun 2024.
Namun, peningkatan kuota ini tidak cukup mengimbangi percepatan permintaan pasar. Ketika kuota terserap habis, Kementerian ESDM menolak memberikan tambahan rekomendasi—sebuah langkah yang memicu krisis pasokan sementara.
Langkah tersebut, menurut sejumlah pengamat energi, merupakan ujian nyata bagi komitmen badan usaha swasta dalam mematuhi regulasi. Di sisi lain, ini juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat peran Pertamina dalam rantai pasok nasional.