Mengapa Status Darurat Bencana Nasional Belum Ditetapkan di Sumatra? Pengamat: Indikator Sudah Terpenuhi, Tapi Ada Pertimbangan Politik
Banjir-Instagram-
“Inilah yang saya sebut pengakuan tanpa formalitas hukum,” kata Kusfiardi. “Tanpa status resmi, semua langkah respons hanya bersifat ad hoc dan tidak terstruktur—ini berbahaya di tengah krisis yang terus berkembang.”
Pertimbangan Politik dan Reputasi?
Kusfiardi menduga, alasan utama penundaan penetapan status bencana nasional bukan pada aspek teknis atau kapasitas, melainkan pertimbangan politik dan reputasi pemerintahan baru. Dengan status tersebut, pemerintah terbuka terhadap sorotan publik domestik dan internasional—termasuk investigasi terhadap peran korporasi dalam deforestasi masif yang memperparah bencana.
“Ada kekhawatiran bahwa penetapan status akan membuka pintu kritik atas kebijakan lingkungan yang longgar selama ini,” ungkapnya. “Belum lagi beban fiskal tambahan yang harus ditanggung negara. Tapi apakah itu sebanding dengan nyawa rakyat yang terus jatuh?”
Ia menegaskan, bencana di Sumatra bukan lagi tanggung jawab daerah. Ini adalah bencana nasional yang mengancam stabilitas sosial, ekonomi, dan bahkan persatuan bangsa. “Jutaan warga kehilangan tempat tinggal. Rantai pasok pangan dan energi terputus. Infrastruktur publik hancur. Ini bukan urusan provinsi, tapi urusan negara.”
Mandat Konstitusional dan Kewajiban Moral
Kusfiardi menekankan bahwa penetapan status Darurat Bencana Nasional bukan sekadar urusan administratif. Ini adalah kewajiban hukum berdasarkan UU 24/2007, sekaligus mandat konstitusional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”
“Setiap hari penundaan berarti tambahan korban jiwa, peningkatan angka kemiskinan darurat, dan risiko wabah penyakit akibat sanitasi yang rusak,” tegasnya. “Infrastruktur yang semula bisa diperbaiki dalam hitungan pekan, kini butuh bulan—atau bahkan tahun—jika tidak segera ditangani secara terpadu.”
Pemerintah: Kami Masih Mampu
Di sisi lain, pemerintah pusat membantah bahwa penundaan penetapan status menunjukkan kelambanan. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan bahwa status hanyalah formalitas, dan yang terpenting adalah respons di lapangan.
“Banyak pertimbangan yang tidak bisa kami sampaikan secara terbuka,” ujar Prasetyo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Ia menegaskan bahwa pemerintah telah mengerahkan seluruh sumber daya—personel, logistik, dan anggaran—untuk membantu daerah terdampak.
Presiden Prabowo, lanjutnya, telah memberikan instruksi langsung agar semua kementerian dan lembaga terkait melakukan “backup penuh” terhadap pemerintah daerah. “Kami yakin penanganan akan maksimal tanpa perlu status darurat nasional,” ujarnya.
Soal bantuan internasional, Prasetyo menjelaskan bahwa pemerintah tidak menutup pintu, namun saat ini belum membutuhkannya. “Banyak negara sahabat menawarkan bantuan, dan kami ucapkan terima kasih. Tapi untuk sementara, kami masih sanggup mengatasi sendiri,” katanya, menambahkan bahwa bantuan luar negeri bisa masuk melalui Instruksi Presiden (Inpres), seperti yang pernah dilakukan saat bencana Palu 2018.
Baca juga: Skandal di Ruang Suci: Oknum ASN Guru Terciduk Berduaan dengan Pria di Kamar Mandi Masjid Padang
Tantangan di Lapangan: Penanganan Belum Komprehensif
Namun, catatan lapangan menunjukkan bahwa respons pemerintah masih terfokus pada penanganan darurat—evakuasi, dapur umum, dan tenda pengungsian—tanpa menyentuh rekonstruksi jangka panjang. Jembatan penghubung antarkabupaten belum diperbaiki. Sistem irigasi yang rusak membuat petani tak bisa menanam. Rumah sakit rujukan lumpuh karena akses terputus.
“Penanganan sekarang hanya menyasar pemukiman, bukan infrastruktur strategis yang menopang kehidupan ekonomi dan sosial,” kritik Kusfiardi. “Tanpa status nasional, pemulihan komprehensif tak akan pernah terjadi.”
Ajakan untuk Keputusan Bersejarah
Menutup pernyataannya, Kusfiardi mendesak Presiden Prabowo untuk mengambil keputusan bersejarah: segera menetapkan bencana di Sumatra sebagai Bencana Nasional.
“Ini bukan soal politik atau anggaran. Ini soal nyawa. Soal keadilan bagi rakyat yang tinggal di pulau yang selama ini menjadi penyangga ekonomi nasional melalui sumber daya alamnya,” ujarnya.
“Negara hadir bukan hanya saat merayakan kemerdekaan, tapi juga saat rakyatnya terpuruk. Inilah saatnya membuktikan bahwa Indonesia benar-benar satu nusa, satu bangsa, dan satu hati.”