Putusan Mahkamah Konstitusi Bawa Angin Segar bagi Industri Musik Indonesia: Royalti Jelas, Beban Penyanyi Berkurang
lagu-pixabay-
Putusan Mahkamah Konstitusi Bawa Angin Segar bagi Industri Musik Indonesia: Royalti Jelas, Beban Penyanyi Berkurang
Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disambut hangat oleh pelaku industri musik Tanah Air. Vibrasi Suara Indonesia (VISI), organisasi yang mewadahi para musisi profesional, menyebut keputusan tersebut sebagai langkah progresif yang membawa keadilan, transparansi, dan kepastian hukum dalam ekosistem musik nasional—terutama dalam tata kelola royalti dan hak pertunjukan.
Dalam siaran pers resmi yang dirilis pada Kamis (18/12/2025), VISI menyatakan bahwa putusan MK bukan hanya mengoreksi celah hukum yang selama ini menimbulkan kebingungan, tetapi juga menyeimbangkan hak dan kewajiban antara pencipta lagu, penyanyi, penyelenggara acara, dan lembaga pengelola royalti. Keputusan ini diharapkan menjadi fondasi baru bagi industri musik yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan.
Mengakhiri Ketidakjelasan Hukum yang Lama Menghambat
Selama bertahun-tahun, praktik pengelolaan hak cipta di Indonesia—khususnya dalam konteks pertunjukan langsung—dihantui oleh ketidakjelasan normatif. Banyak penyanyi dan pelaku pertunjukan merasa terjebak dalam situasi dilematis: mereka kerap diminta membayar royalti atas lagu yang dinyanyikan, padahal bukan pemilik hak cipta dan tidak terlibat dalam negosiasi penggunaan lagu tersebut.
Putusan MK kini memberikan jawaban tegas. Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa pencipta lagu yang telah menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tidak lagi memiliki hak untuk melarang penggunaan lagunya dalam pertunjukan publik. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kuasa pengelolaan hak pertunjukan secara eksklusif telah diserahkan kepada LMK sebagai lembaga resmi yang berwenang.
Langkah ini tidak hanya menertibkan praktik di lapangan, tetapi juga menghindari tumpang tindih klaim yang selama ini memicu konflik antarpihak—mulai dari musisi independen hingga penyelenggara festival besar.
Penyelenggara Acara, Bukan Penyanyi, yang Wajib Bayar Royalti
Salah satu poin terpenting dalam putusan MK adalah penegasan bahwa pihak yang bertanggung jawab membayar royalti dalam pertunjukan komersial adalah penyelenggara acara, bukan penyanyi atau performer. Keputusan ini dinilai sebagai terobosan besar yang menempatkan beban finansial pada pihak yang seharusnya menanggungnya: pihak yang mengambil keuntungan komersial dari penggunaan karya cipta.
“Banyak penyanyi, terutama dari kalangan musisi independen atau pemula, sering kali dipaksa membayar royalti karena ketidaktahuan atau tekanan dari penyelenggara. Ini tidak adil dan tidak mencerminkan struktur industri yang sehat,” ujar Armand Maulana, Ketua Umum VISI.
Dengan keputusan MK ini, VISI berharap beban yang tidak seharusnya ditanggung oleh para performer—yang sebenarnya adalah bagian dari rantai kreatif—dapat berkurang secara signifikan. Ini juga membuka jalan bagi lebih banyak peluang pertunjukan, terutama di ruang-ruang publik dan acara komunitas, tanpa rasa takut terhadap sanksi hukum yang tidak proporsional.
Sanksi Pidana Bukan Solusi Utama dalam Sengketa Hak Cipta
Selain mengatur ulang mekanisme royalti, MK juga menekankan pentingnya pendekatan non-pidana dalam menyelesaikan sengketa hak cipta. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa pendekatan pidana harus menjadi ultimum remedium—upaya terakhir—setelah jalur dialog, mediasi, dan litigasi perdata benar-benar tidak membuahkan hasil.
Pernyataan ini sangat relevan mengingat tren beberapa tahun terakhir di mana ancaman pidana sering digunakan sebagai alat intimidasi, bukan sebagai instrumen penegakan hukum. Akibatnya, banyak pelaku kreatif—termasuk UMKM kreatif dan komunitas seni—enggan mengadakan acara karena takut terjerat pasal berat.
VISI menyambut baik penegasan ini dan mendorong Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk segera menyusun panduan teknis guna memastikan implementasi putusan MK berjalan lancar dan inklusif.