Hujan sebagai Ujian atau Rahmat? Refleksi Khutbah Jumat 12 Desember 2025 di Tengah Bencana Banjir dan Longsor
Masjid--
Hujan sebagai Ujian atau Rahmat? Refleksi Khutbah Jumat 12 Desember 2025 di Tengah Bencana Banjir dan Longsor
Di tengah duka yang menyelimuti sejumlah wilayah di Indonesia akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor, umat Muslim di seluruh tanah air diingatkan untuk menarik hikmah dari musibah yang terjadi. Tak hanya sebagai ujian, bencana alam juga menjadi panggilan spiritual untuk kembali menata hubungan dengan Sang Pencipta dan menjaga keharmonisan dengan alam.
Khutbah Jumat 12 Desember 2025 mengangkat tema mendalam: "Dari Bencana Banjir dan Longsor, Hujan Rahmat atau Azab?" Tema ini relevan dengan realitas yang sedang dihadapi bangsa, di mana sejumlah daerah—terutama di Pulau Sumatera—dilanda bencana hidrometeorologi yang memakan korban jiwa, harta, dan infrastruktur vital.
Bencana Alam: Cermin Perilaku dan Tanda Kehadiran Ilahi
Sejak awal Desember 2025, curah hujan ekstrem melanda berbagai wilayah di Indonesia. Di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, hingga Lumajang di Jawa Timur, bencana banjir dan longsor datang silih berganti. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa intensitas hujan tahun ini berada di atas rata-rata, dipicu oleh fenomena iklim global yang semakin tidak menentu.
Namun, di balik keganasan alam, pertanyaan mendasar muncul: apakah bencana ini murni fenomena alam, azab ilahi, atau ujian spiritual?
Dalam khutbah Jumat yang disampaikan secara singkat namun penuh muatan makna, khatib mengajak jemaah untuk tidak terjebak pada narasi menyalahkan atau menghakimi. Sebaliknya, musibah harus menjadi momentum untuk introspeksi diri, memperbarui iman, dan memperkuat solidaritas sosial.
Hujan dalam Perspektif Al-Qur’an: Berkat yang Bisa Jadi Peringatan
Dalam surah Qaf ayat 9, Allah SWT berfirman:
"Wa nazzalnā minas-samā’i mā’an mubārakan fa-ambatnā bihī jannātiw wa habbal-ḥaṣīd."
Artinya: "Kami turunkan dari langit air yang diberkahi, lalu Kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan biji-bijian yang dapat dipanen."
Ayat ini menegaskan bahwa hujan pada dasarnya adalah rahmat Ilahi. Tanpa hujan, bumi akan gersang, tanaman mati, dan manusia kelaparan. Namun, rahmat itu bisa berubah bentuk—bukan karena Allah murka secara sewenang-wenang, melainkan karena ulah manusia sendiri.
Allah SWT juga berfirman dalam Surah Ar-Rum ayat 41:
"Ẓaharal-fasādu fil-bari wal-baḥri bimā kasabat ayydin-nāsi liyużīqahum ba’dhal-lażī ‘amilū la‘allahum yarji‘ūn."
Artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Dua ayat ini menjadi fondasi refleksi moral: bencana bukanlah hukuman semata, melainkan undangan untuk kembali kepada jalan kebaikan, keadilan ekologis, dan tanggung jawab kolektif.
Musibah Bukan Alasan untuk Menyalahkan, Tapi untuk Bangkit Bersama
Khutbah Jumat ini juga menekankan pentingnya tidak saling menyalahkan dalam menghadapi musibah. Di tengah krisis, kebutuhan utama adalah solidaritas, empati, dan aksi nyata—bukan narasi kebencian atau keputusasaan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang terbaik setelahnya."
(HR. At-Tirmidzi No. 3298)
Hadis ini mengingatkan bahwa ujian adalah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Mereka yang diuji bukanlah orang yang dihukum, melainkan yang dipilih untuk menunjukkan ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan.
Bagi yang terdampak, musibah bisa menjadi pintu pahala besar, terutama jika mereka mampu bersabar. Bagi yang aman, ini adalah panggilan untuk berbagi, membantu, dan berdoa—karena tolong-menolong dalam kebaikan adalah wujud nyata dari iman.