Khutbah Jumat 5 Desember 2025: Mengenali Sembilan Tanda Melemahnya Iman dalam Kehidupan Sehari-hari
masjid-xegxef/pixabay-
Khutbah Jumat 5 Desember 2025: Mengenali Sembilan Tanda Melemahnya Iman dalam Kehidupan Sehari-hari
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, umat Islam sering kali lupa untuk mengecek kondisi iman di dalam hati. Padahal, seperti halnya tubuh yang butuh perawatan agar tetap sehat, iman pun memerlukan pemeliharaan rutin agar tidak layu atau bahkan mati. Jumat, 5 Desember 2025, menjadi momentum penting bagi kita—kaum Muslim laki-laki—untuk kembali mengevaluasi diri melalui khutbah Jumat yang mengingatkan kita pada sembilan tanda melemahnya iman seorang Muslimin.
Hari Jumat, yang dikenal sebagai Sayyidul Ayyam atau “Penghulu Hari-Hari”, bukan sekadar hari ibadah rutin. Ia adalah karunia ilahi yang penuh keberkahan, kesempatan emas untuk memperbarui hubungan kita dengan Sang Pencipta. Dalam suasana khidmat itu, mari kita merenung: apakah iman kita masih kokoh, atau justru mulai keropos tanpa kita sadari?
Iman Bukan Hal Statis: Ia Bisa Naik, Bisa Turun
Sebelum mengupas tanda-tanda melemahnya iman, penting untuk memahami satu prinsip dasar dalam ajaran Islam: iman bukanlah sesuatu yang statis. Iman bisa bertambah ketika kita taat dan beribadah dengan ikhlas, namun juga bisa berkurang saat kita terjerumus dalam kemaksiatan dan kelalaian. Nabi Muhammad ﷺ sendiri, meski telah dijamin surga, tetap berdoa setiap hari:
“Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik.”
(Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.)
Jika sang Nabi saja khawatir hatinya berubah, lalu bagaimana dengan kita—manusia biasa yang dosa dan lalainya jauh melebihi amal baiknya?
1. Malas Melaksanakan Amal Ketaatan dan Meremehkan Sunnah
Tanda pertama yang paling mudah dikenali adalah rasa malas dalam beribadah. Bukan hanya shalat wajib yang sering ditunda, bahkan shalat Jumat pun mulai dianggap beban. Orang seperti ini mungkin masih shalat, tapi hatinya jauh. Ia bangkit dari tidur tanpa khawatir kelewatan waktu shalat, atau bahkan tidak merasa bersalah ketika meninggalkannya.
Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’: 142:
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.”
Berbeda dengan para hamba yang saleh yang disebut dalam QS. Al-Anbiya: 90:
“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan…”
Kata kuncinya: bersegera, bukan menunda.
2. Ringan Melakukan Dosa dan Berani Berbuat Maksiat Terang-terangan
Ketika dosa sudah terasa “biasa”, inilah bahaya. Awalnya mungkin hanya dosa kecil—berbohong, ghibah, atau menunda shalat—tapi lama-kelamaan pelakunya tidak lagi merasa bersalah. Bahkan, ia dengan bangga menceritakan perbuatannya kepada orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Semua umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang melakukan dosa secara terang-terangan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Mengapa? Karena ia tidak hanya berdosa, tapi juga menghancurkan rasa malu—salah satu cabang iman.
3. Tidak Marah saat Melihat Kemungkaran
Tanda ketiga adalah kehilangan ‘ghirah’ atau rasa cemburu terhadap agama Allah. Ketika melihat minuman keras beredar, aurat tidak ditutup, atau ajaran Islam dilecehkan, hati tidak bergetar. Wajah datar. Tidak ada keinginan untuk mengingkari—meski hanya dengan hati.
Padahal Nabi ﷺ bersabda:
“Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya—dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Jika bahkan hati pun tidak bereaksi, di manakah iman kita?
4. Hanya Takut pada yang Haram, Abai pada yang Makruh
Ada orang yang bertanya, “Dosakah jika saya melakukan ini?” Tapi tidak pernah bertanya, “Apakah ini yang paling dicintai Allah?” Mereka bermain di garis tipis antara halal dan haram, mengabaikan perbuatan makruh yang justru bisa menjadi pintu masuk ke dalam dosa besar.
Nabi ﷺ mengibaratkan ini seperti penggembala yang merumput di sekitar hima (tanah larangan). Ia berpikir aman, padahal tinggal selangkah menuju larangan.
“Sesungguhnya setiap raja memiliki tanah larangan, dan tanah larangan Allah adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Iman yang kuat tidak hanya menghindari api, tapi juga menjauh dari asapnya.
5. Dada Sempit dan Perilaku Memburuk
Pernah merasa gelisah tanpa sebab? Mudah marah? Tiba-tiba tergoda melakukan hal yang dulu dihindari? Ini bisa jadi pertanda iman sedang melemah. Hati yang dulu lapang, kini sempit. Jiwa yang dulu tenang, kini resah.
Rasulullah ﷺ mengatakan:
“Iman ialah kesabaran dan kelapangan hati.”
(Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, No. 554)
Jika keduanya hilang, maka hati sedang kehilangan cahaya iman.
6. Jauh dari Al-Qur’an dan Zikir
Al-Qur’an adalah penawar dan petunjuk. Namun, berapa lama Anda tidak menyentuh mushaf? Apakah Al-Qur’an hanya dibaca saat Ramadan atau ketika ada hajat? Orang yang imannya kuat akan rindu mendengar ayat-ayat Allah, merenungkan maknanya, dan mengamalkannya.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
(QS. Al-Hujurat: 15)
Dan bagian dari jihad itu adalah berperang melawan kelalaian dengan Al-Qur’an dan zikir.
7. Keranjingan pada Pujian, Jabatan, dan Popularitas
Jika hati lebih senang ketika dipuji daripada ketika Allah ridha, ini pertanda bahaya. Jabatan, gelar, dan ketenaran bukanlah tujuan hidup seorang Muslim. Nabi ﷺ memperingatkan:
“Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat.”
(HR. Bukhari)
Kepemimpinan dalam Islam bukan soal kehormatan, tapi tanggung jawab berat yang akan ditanya di akhirat.