District Blok M Tempat Kuliner Gen Z Dikabarkan Tutup Usai Harga Sewa Diduga Naik dari 2 Juta/Bulan Kini jadi 15 Juta/Bulan

District Blok M Tempat Kuliner Gen Z Dikabarkan Tutup Usai Harga Sewa Diduga Naik dari 2 Juta/Bulan Kini jadi 15 Juta/Bulan

Blok m-Instagram-

District Blok M Tempat Kuliner Gen Z Dikabarkan Tutup Usai Harga Sewa Diduga Naik dari 2 Juta/Bulan Kini jadi 15 Juta/Bulan
Blok M Kini Berubah Wajah: Dari Terminal Rakyat Jadi Pusat Gaya Hidup Urban, Tapi Harga Sewa Meledak Hingga 30 Juta Per Bulan

Jakarta, kota yang tak pernah tidur, selalu menyimpan dinamika di setiap sudutnya. Salah satu kawasan yang kini tengah menjadi sorotan adalah Blok M, kawasan ikonik di Jakarta Selatan yang dulu dikenal sebagai pusat transit dan belanja rakyat, kini bertransformasi menjadi destinasi urban yang digandrungi anak muda. Namun, di balik gemerlapnya kafe kekinian dan live music, tersembunyi gejolak yang memicu kepergian banyak pedagang legendaris.



Baru-baru ini, Blok M kembali viral di media sosial setelah sejumlah tenant kuliner populer seperti Ayam Renald, Ice WS, Nasi Matah Blok M, dan puluhan usaha mikro lainnya memutuskan untuk angkat kaki dari kawasan ini. Alasannya? Lonjakan harga sewa yang mencengangkan—dari yang awalnya hanya sekitar Rp2 juta per bulan, kini melonjak drastis hingga Rp15 juta hingga Rp30 juta per bulan. Kenaikan ini membuat banyak pelaku usaha kecil-kecilan tidak mampu bertahan, terpaksa pindah atau bahkan gulung tikar.

Dari Terminal Rakyat ke Pusat Kebudayaan Urban
Dulu, Blok M dikenal sebagai kawasan transit utama warga Jakarta dan pendatang dari luar kota. Terminal Blok M, yang berdiri sejak puluhan tahun lalu di Jalan Palatehan, menjadi gerbang masuk dan keluar ribuan penumpang setiap hari. Di sekitarnya, berkembang pasar tradisional, kios buku bekas, dan mal rakyat seperti Blok M Square—tempat warga dari berbagai kalangan berkumpul, berbelanja, dan bersosialisasi.

Namun, seiring berjalannya waktu, wajah Blok M mulai berubah. Transformasi besar terjadi ketika kawasan M Bloc Space hadir sebagai pusat kreatif baru. Di sinilah anak muda Jakarta mulai menjadikan Blok M sebagai tempat nongkrong, menikmati kopi, live music, hingga eksplorasi seni kontemporer. Kafe-kafe Instagramable bermunculan, galeri seni kecil bertebaran, dan suasana malam hari semakin hidup dengan deretan warung tenda dan bar yang ramai hingga dini hari.


“Palugada” yang Sesungguhnya: Apa Saja Ada di Blok M
Banyak yang menyebut Blok M sebagai “palugada”—apa lu mau, gua ada. Tidak berlebihan, karena di kawasan seluas beberapa kilometer persegi ini, Anda bisa menemukan hampir semua hal. Ingin makan enak? Ada puluhan tenant kuliner dari berbagai daerah. Ingin belanja barang vintage? Pasar Buku Bekas Blok M dan toko-toko kaset lawas siap memuaskan hasrat kolektor. Butuh ruang untuk bersantai sambil bekerja? Banyak warung kopi dengan Wi-Fi cepat dan suasana nyaman.

“Kalau nggak tahu mau ngapain, ya ke Blok M aja,” kata Rangga (28), warga Cipulir yang rutin berkunjung ke kawasan ini setiap akhir pekan. “Di sini ada lapisan-lapisan budaya. Ada nostalgia, ada modernitas, ada chaos, tapi tetap ada ketenangan.”

Bagi Rangga, Blok M seperti kota dalam kota. Di satu sisi, Anda bisa menemukan warung nasi padang legendaris yang buka sejak subuh. Di sisi lain, ada kafe premium yang menyajikan single origin coffee dengan desain interior ala skandinavia. Di gang sempit, tersembunyi toko barang antik yang menjual barang-barang unik dari era 70-an. Semua bertemu, bertabrakan, dan akhirnya menyatu dalam harmoni urban yang khas.

Transit, Hiburan, dan Kehidupan Malam yang Tak Pernah Mati
Posisi strategis Blok M—dekat dengan stasiun MRT Blok M, halte Transjakarta, dan terminal antarkota—membuat kawasan ini menjadi simpul mobilitas utama di Jakarta. Bukan hanya tempat transit, tapi juga destinasi. Banyak penumpang turun dari bus atau MRT, lalu memilih mampir sebentar untuk makan, minum kopi, atau sekadar menunggu teman.

“Buat saya, Blok M itu seperti tempat ‘melarikan diri sejenak’ dari rutinitas,” ujar Vina (24), karyawan swasta asal Bekasi. “Pulang kerja, saya sering mampir ke M Bloc, makan malam, kadang nonton live music. Kalau weekend, saya suka cari buku bekas atau vinyl di Pasar Buku Blok M.”

Kehidupan malam di Blok M terus bergeliat. Di sepanjang Jalan Falatehan, lampu-lampu warung tenda mulai menyala sejak pukul 18.00. Aroma sate, mie ayam, dan es campur bercampur dengan alunan musik dari sound system kecil. Anak muda, pekerja kantoran, hingga turis lokal terlihat asyik ngobrol, tertawa, dan menikmati malam Jakarta yang khas.

Gelombang Gentrifikasi: Ketika Harga Sewa Naik, Pedagang Kecil Terdesak
Namun, di balik kemajuan dan kemewahan yang kian terlihat, terjadi proses gentrifikasi yang mengkhawatirkan. Gentrifikasi, atau proses pembaruan kawasan yang justru mengusir penghuni lama karena kenaikan harga, kini mulai terasa di Blok M.

Sejumlah pedagang kecil yang telah bertahun-tahun berjualan di kawasan ini mengaku tidak sanggup lagi membayar sewa yang melambung. Dari yang dulunya hanya Rp2 juta per bulan, kini pemilik lahan mematok harga hingga Rp30 juta per bulan untuk lokasi strategis. Bagi usaha mikro yang omzetnya belum tentu mencapai angka itu, kenaikan ini seperti pukulan telak.

“Saya sudah 12 tahun jualan di sini. Tapi sekarang diminta naik harga sewa jadi 15 juta. Mana mungkin? Omzet saya paling 20 juta sebulan, itu pun belum dikurangi modal dan operasional,” keluh seorang pedagang makanan yang enggan disebutkan namanya.

Akibatnya, banyak tenant yang dulu menjadi ikon kuliner Blok M—seperti Ayam Renald, Ice WS, dan Nasi Matah Blok M—harus rela pindah ke kawasan pinggiran seperti Cilandak, Pasar Minggu, atau Lenteng Agung. Bahkan beberapa memilih tutup usaha karena tidak menemukan lokasi pengganti yang strategis dan terjangkau.

M Bloc Space: Simbol Baru, Tapi Apakah Masih Inklusif?
Kehadiran M Bloc Space memang membawa angin segar bagi perkembangan kawasan. Dikelola oleh pengembang properti, tempat ini dirancang sebagai kawasan mixed-use yang menggabungkan kuliner, seni, hiburan, dan ruang publik. Acara-acara seperti pameran seni, pasar kreatif, dan pertunjukan musik sering digelar di sini, menarik ribuan pengunjung setiap bulannya.

Namun, pertanyaan besar mulai muncul: Apakah Blok M masih inklusif? Apakah kawasan ini masih bisa menjadi ruang bagi semua kalangan, atau hanya akan menjadi eksklusif bagi kalangan menengah ke atas?

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya