Profil Tampang Bu Ana? Emak-Emak Berhijab Pink yang jadi Simbol 17+8 Ternyata Hina Prabowo Hingga Minta Anies Baswedan jadi Presiden, Lengkap: Umur, Agama dan IG

Pink-Instagram-
Profil Tampang Bu Ana? Emak-Emak Berhijab Pink yang jadi Simbol 17+8 Ternyata Hina Prabowo Hingga Minta Anies Baswedan jadi Presiden, Lengkap: Umur, Agama dan IG
Bu Ana, Simbol Perlawanan atau Aksi yang Tergelincir? Kontroversi di Balik Kerudung Pink 17+8
Aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil pada 17 Agustus 2024, yang dikenal luas dengan sebutan "17+8", menyisakan jejak yang tak mudah dilupakan. Di antara hiruk-pikuk protes terhadap kebijakan pemerintah dan desakan perbaikan sistem demokrasi, muncul satu sosok yang tiba-tiba menjadi sorotan nasional: seorang ibu berkerudung pink yang tampil berani di barisan depan demonstran. Ia dikenal sebagai Bu Ana, atau dalam panggilan akrab di media sosial, “Bu Anak Ema-emak”. Aksinya yang penuh semangat, berdiri tegak di tengah barakuda dan mengibarkan bendera kecil, sempat dianggap sebagai simbol keberanian rakyat jelata melawan ketidakadilan.
Kerudung pink yang dikenakannya pun secara cepat menjadi simbol ikonik. Warna pink dipilih bukan tanpa makna. Dalam narasi yang berkembang di kalangan aktivis, warna ini melambangkan Bu Ana sendiri—seorang ibu yang berdiri tegak demi keadilan. Sementara warna hijau, yang sering dikombinasikan dalam grafis dan meme dukungan, mewakili Affan, seorang driver ojek online (ojol) yang tragis meninggal dunia akibat terlindas kendaraan Barakuda saat mencoba membantu sesama demonstran. Kombinasi dua warna ini kemudian menjadi identitas visual gerakan 17+8, menggambarkan solidaritas antar lapisan masyarakat yang terpinggirkan.
Namun, di balik pesan heroik yang sempat viral, muncul gelombang kontroversi yang mengguncang citra Bu Ana. Dalam beberapa hari setelah aksi, potongan video pendek mulai beredar luas di platform media sosial seperti TikTok, X (sebelumnya Twitter), dan Instagram. Dalam video tersebut, Bu Ana tampak mengeluarkan kata-kata kasar dan bernada penghinaan terhadap Presiden Prabowo Subianto. “Prabowo anj*ng! Prabowo turun! Ganti sama Anies!” teriaknya dengan nada emosional, diduga direkam saat berada di sela-sela kerumunan massa.
Video ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Banyak warganet yang merasa kecewa. Mereka menilai bahwa aksi protes yang seharusnya fokus pada kritik terhadap lembaga legislatif seperti DPR, malah terpecah oleh narasi politis yang bersifat personal dan provokatif. “Ini bukan lagi soal reformasi atau keadilan sosial, tapi sudah masuk ranah fitnah dan hasutan,” tulis salah satu netizen dengan akun @WargaNegaraCerdas.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Dr. Rizal Fadillah, menilai bahwa aksi Bu Ana, meski awalnya terlihat heroik, justru berpotensi menjadi alat propaganda yang bisa memecah belah. “Ketika simbol perlawanan dibangun di atas sentimen kebencian terhadap tokoh tertentu, maka gerakan itu rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Ini bisa merusak integritas gerakan yang seharusnya inklusif dan berbasis isu,” ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan Suara Demokrasi.
Lebih jauh, Dr. Rizal mengingatkan bahwa simbol-simbol seperti kerudung pink dan warna hijau, meski kuat secara emosional, bisa kehilangan maknanya jika tidak dijaga dari infiltrasi narasi ekstrem atau sentimen pribadi. “Simbol harus netral dan mewakili nilai-nilai kolektif, bukan hanya kepentingan kelompok atau individu tertentu,” tegasnya.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang masih membela Bu Ana. Mereka berargumen bahwa kemarahan yang ditunjukkan Bu Ana adalah ekspresi dari kekecewaan rakyat kecil yang merasa tidak pernah didengar. “Dia bukan elite, bukan politisi. Dia ibu rumah tangga yang marah karena harga-harga naik, anaknya susah sekolah, ongkir makin mahal. Jangan salahkan dia karena emosinya meledak,” ujar Dina, seorang mahasiswi dari Yogyakarta, yang turut hadir dalam aksi 17+8.
Namun, kritik tetap mengalir deras. Banyak yang mempertanyakan, apakah aksi seperti ini benar-benar membawa perubahan? Atau justru memperkeruh suasana dan menciptakan polarisasi baru di tengah masyarakat? “Kita butuh aksi yang cerdas, bukan yang emosional. Kita butuh suara yang menyatukan, bukan yang memecah,” komentar akun @IndonesiaBersatu, yang telah diretweet lebih dari 10 ribu kali.