District Blok M Tempat Kuliner Gen Z Dikabarkan Tutup Usai Harga Sewa Diduga Naik dari 2 Juta/Bulan Kini jadi 15 Juta/Bulan

Blok m-Instagram-
“Dulu saya bisa makan enak dengan Rp20 ribu. Sekarang, kalau mau ke kafe kekinian, minimal Rp80 ribu per orang. Itu belum termasuk parkir dan pajak,” ujar Dewi (35), ibu rumah tangga yang sudah 20 tahun tinggal di sekitar Blok M. “Saya merasa kawasan ini bukan untuk saya lagi.”
Masa Depan Blok M: Antara Kemajuan dan Keberlanjutan
Transformasi Blok M adalah cermin dari dinamika kota besar seperti Jakarta. Di satu sisi, modernisasi membawa kemajuan, lapangan kerja, dan daya tarik baru. Di sisi lain, proses ini sering kali mengorbankan komunitas lokal dan budaya rakyat yang telah lama hidup di sana.
Yang dibutuhkan sekarang bukan hanya pembangunan fisik, tapi juga kebijakan yang berpihak pada UMKM dan pedagang kecil. Pemerintah daerah, pengelola kawasan, dan pengembang perlu duduk bersama untuk mencari solusi—misalnya dengan zona khusus untuk usaha mikro, program sewa terjangkau, atau insentif bagi tenant lokal.
Blok M bukan sekadar tempat transit. Ia adalah ruang publik yang hidup, tempat berbagai lapisan masyarakat bertemu, berinteraksi, dan menciptakan kenangan. Jika tidak hati-hati, identitas unik ini bisa hilang, digantikan oleh kawasan komersial yang seragam dan kaku.
Penutup: Blok M Tetap Ikon, Tapi Harus Tetap Rakyat
Blok M tetap menjadi salah satu kawasan paling ikonik di Jakarta. Dari terminal rakyat hingga pusat gaya hidup urban, perjalanannya mencerminkan perubahan kota yang cepat dan tak terhindarkan. Namun, di tengah arus modernisasi, penting untuk mengingat: jiwa kota bukan hanya terletak pada gedung-gedung tinggi dan kafe mahal, tapi pada orang-orang yang menghuninya.
Semoga Blok M tetap menjadi “palugada” yang sebenarnya—tempat semua orang, dari sopir angkot hingga pekerja kantoran, dari pencari buku bekas hingga pecinta kopi spesial, bisa merasa di rumah.
Karena kota yang hebat bukan yang paling mewah, tapi yang paling ramah bagi semua warganya.