Profil Tampang George Soros Sosok yang Diduga Dalang Dibalik Kerusuhan di Indonesia, Lengkap: Umur, Agama dan Akun Instagram

Profil Tampang George Soros Sosok yang Diduga Dalang Dibalik Kerusuhan di Indonesia, Lengkap: Umur, Agama dan Akun Instagram

Soros-Instagram-

Profil Tampang George Soros Sosok yang Diduga Dalang Dibalik Kerusuhan di Indonesia, Lengkap: Umur, Agama dan Akun Instagram

Nama George Soros kembali menjadi sorotan tajam di ruang publik, khususnya di tengah gelombang demonstrasi besar-besaran yang mengguncang sejumlah kota di Indonesia awal September 2025. Media Rusia, Sputnik, dalam laporannya yang viral, menyebut bahwa miliarder asal Hungaria berusia 95 tahun ini diduga kuat berada di balik kericuhan yang awalnya dipicu oleh penolakan terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR, namun kemudian meluas hingga menyentuh isu kematian tragis seorang pengemudi ojek online.



Pernyataan ini langsung memicu perdebatan panas di media sosial. Di satu sisi, ada yang langsung mempercayai narasi bahwa Soros adalah dalang di balik kerusuhan—sebuah skenario yang sering muncul dalam berbagai krisis global. Di sisi lain, banyak netizen yang menanggapi dengan skeptis, menyebut tuduhan tersebut sebagai "kartu lama" yang kerap digunakan untuk menciptakan musuh bersama.

Siapa Sebenarnya George Soros?
George Soros bukan nama asing dalam dunia keuangan global. Lahir di Budapest, Hungaria, pada tahun 1930, Soros memulai karier finansialnya pada 1969 dengan mendirikan dana lindung nilai (hedge fund) yang kemudian berkembang menjadi Quantum Fund. Namun, reputasinya melejit ke level global pada 1992, ketika ia melakukan aksi spekulasi besar-besaran terhadap mata uang Inggris, Poundsterling.

Dengan strategi short selling yang brilian, Soros berhasil memperoleh keuntungan lebih dari 1 miliar dolar AS, sekaligus memaksa Bank of England untuk keluar dari ERM (Exchange Rate Mechanism). Aksi ini membuatnya dijuluki "The Man Who Broke the Bank of England"—seorang tokoh yang mampu menggoyang institusi keuangan raksasa hanya dengan analisis dan modal besar.


Hingga kini, meski telah pensiun dari aktivitas trading aktif, Forbes mencatat kekayaan bersih Soros mencapai sekitar 7,8 miliar dolar AS, menempatkannya di posisi ke-481 dalam daftar orang terkaya dunia per September 2025.

Dari Trader Legendaris ke Filantropi Global
Namun, sosok Soros tidak bisa dilihat hanya dari sisi keuangannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu filantropis paling berpengaruh di dunia. Melalui yayasan yang ia dirikan, Open Society Foundations (OSF), Soros telah mengalokasikan lebih dari 18 miliar dolar AS untuk berbagai program sosial, pendidikan, hak asasi manusia, dan demokratisasi di lebih dari 120 negara sejak 1979.

Di Indonesia, OSF telah aktif sejak era 1990-an, mendukung sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), jurnalis independen, serta kelompok advokasi seperti The Indonesia Frontier Alliance (TIFA). Dukungan finansial ini kerap menjadi bahan kritik, terutama dari kalangan yang mencurigai bahwa OSF adalah alat soft power Barat untuk memengaruhi arah politik negara-negara berkembang.

Beberapa analis bahkan menyebut bahwa Soros dan jaringan filantropinya telah menjadi bagian dari sistem yang disebut "revolusi warna"—gerakan sosial yang tampak spontan, tetapi diduga didanai dan diarahkan oleh aktor-aktor asing untuk menjatuhkan rezim yang tidak sejalan dengan kepentingan Barat.

Soros di Balik Demo Indonesia? Analisis dan Dugaan
Dalam laporan Sputnik, seorang analis geopolitik bernama Angelo Giuliano mengemukakan dugaan bahwa demonstrasi di Indonesia menunjukkan pola yang tidak biasa. Salah satu indikatornya adalah penggunaan simbol bendera bajak laut dari anime One Piece oleh sejumlah peserta aksi. Menurut Giuliano, simbol semacam itu bukan murni budaya populer, melainkan bisa jadi bagian dari taktik mobilisasi massa yang telah digunakan di berbagai protes global, seperti di Hong Kong, Lebanon, dan Belarus.

"Ada pola yang berulang," ujarnya. "Gerakan massa yang dimulai dari isu lokal, lalu cepat meluas dan mengarah pada tuntutan sistemik, sering kali memiliki jejak pendanaan atau pengaruh eksternal."

Giuliano menyebut dua aktor potensial di balik dugaan intervensi tersebut: National Endowment for Democracy (NED), lembaga nirlaba AS yang sejak lama diduga membiayai media dan LSM di Indonesia, dan Open Society Foundations milik Soros, yang telah menanamkan dana lebih dari 8 miliar dolar AS secara global sejak dekade 1990-an.

Tidak hanya itu, penulis buku The China Trilogy, Jeff J. Brown, turut mengomentari situasi. Ia menilai bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang secara konsisten memperkuat hubungan dengan kekuatan non-Barat seperti Tiongkok, Rusia, SCO (Shanghai Cooperation Organization), dan BRICS, dianggap sebagai ancaman oleh kepentingan geopolitik Barat.

"Indonesia yang semakin dekat dengan poros global baru menjadi target potensial untuk destabilisasi," kata Brown. "Revolusi warna adalah alat yang sudah teruji, dan Soros sering menjadi wajah dari narasi ini—entah benar atau tidak."

Respons Netizen: Antara Percaya dan Sinis
Di media sosial, narasi ini memicu dua kubu yang saling bertentangan. Sebagian warganet langsung mengaitkan aksi Soros dengan krisis ekonomi Asia 1997–1998, yang juga sempat dikaitkan dengan spekulasi mata uang yang melibatkan hedge fund internasional.

"Kan emang iya, dia yang bikin krisis moneter awalnya dari Thailand, trus lama-lama ke seluruh Asia Tenggara," tulis akun @mhmmdzakyibn, yang mendapat ribuan likes dan retweet.

Namun, tidak sedikit pula yang merespons dengan nada sinis. Akun @nghtshade_ menulis, "Nice try, diddy. Kartu lama ciptain musuh bersama buat berharap rakyat bakal bersatu." Komentar ini mencerminkan kecurigaan terhadap upaya pihak tertentu untuk mengalihkan fokus dari akar masalah dengan menciptakan sosok 'musuh'.

Sementara itu, akun @robi_onair mencoba menengahi: "Tidak. George Soros memang memborong beberapa instrumen di Indonesia, tapi bukan berarti dia yang mengorganisir demo. Isu ekonomi dan ketidakadilan sosial itu nyata, dan rakyat punya hak untuk marah."

Akar Masalah: Ekonomi Rakyat vs Konspirasi Global
Terlepas dari spekulasi tentang peran Soros atau aktor asing lainnya, yang tidak bisa diabaikan adalah akar masalah yang sangat lokal dan nyata. Aksi demonstrasi awalnya dipicu oleh keputusan pemerintah yang menaikkan tunjangan anggota DPR hingga 40% di tengah kondisi ekonomi yang masih tertekan. Inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan PHK massal di sejumlah sektor menjadi latar belakang kemarahan publik.

Belum lagi insiden kematian seorang driver ojek online yang diduga akibat kelalaian sistem algoritma aplikasi, memicu amarah lebih luas terhadap praktik ekonomi digital yang dianggap eksploitatif.

Seperti yang disampaikan oleh aktivis sosial @alfianzeindhara, "Demo ini bukan soal Soros atau Barat. Ini soal keadilan. Rakyat capek diperlakukan seperti beban, sementara elite menikmati fasilitas mewah."

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya