Harga Emas Antam Pecahkan Rekor Baru: Tembus Rp2,59 Juta per Gram di Tengah Ketegangan Geopolitik Global

Harga Emas Antam Pecahkan Rekor Baru: Tembus Rp2,59 Juta per Gram di Tengah Ketegangan Geopolitik Global

Emas Antam--

Harga Emas Antam Pecahkan Rekor Baru: Tembus Rp2,59 Juta per Gram di Tengah Ketegangan Geopolitik Global

Harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), yang dipasarkan dengan merek Logam Mulia, kembali mencatatkan rekor historis pada perdagangan hari ini. Di tengah ketidakpastian global dan dinamika geopolitik yang memanas, logam mulia ini menjadi buruan investor maupun masyarakat awam sebagai pelindung nilai (hedging) yang andal.



Pada Rabu (24/12/2025), harga emas Antam menguat signifikan menjadi Rp2.590.000 per gram, naik sebesar Rp29.000 dibandingkan posisi kemarin. Angka tersebut bukan hanya peningkatan harian, tetapi juga menjadi rekor tertinggi sepanjang masa sejak emas Logam Mulia pertama kali diperdagangkan secara komersial di Indonesia.

Tak hanya harga jual, harga buyback atau pembelian kembali oleh Antam juga mencatatkan puncak baru, yaitu Rp2.449.000 per gram, meningkat Rp29.000 dari hari sebelumnya. Lonjakan ini mencerminkan permintaan yang tinggi terhadap emas fisik, sekaligus menegaskan peran emas sebagai aset safe haven di tengah gejolak ekonomi dan politik global.

Pemicu Kenaikan: Emas Dunia Tembus Level Historis
Lonjakan harga emas Antam tak lepas dari performa emas dunia yang juga mencetak rekor spektakuler. Pada perdagangan Selasa (23/12/2025), harga emas spot di pasar internasional ditutup pada level US$4.503,50 per troy ons, naik 1,32% dari hari sebelumnya. Ini merupakan harga tertinggi sepanjang sejarah untuk logam mulia tersebut.


Analis pasar logam mulia dari IndoGold Research, Dian Permata, menjelaskan bahwa kenaikan ini didorong oleh dua faktor utama: eskalasi ketegangan geopolitik dan ekspektasi pelonggaran moneter lanjutan dari bank sentral global, terutama The Federal Reserve (The Fed).

“Emas selalu menjadi pelarian alami ketika dunia dilanda ketidakpastian. Kombinasi konflik geopolitik dan potensi pelonggaran kebijakan moneter menciptakan perfect storm bagi kenaikan harga emas,” ujarnya dalam wawancara eksklusif.

Ketegangan AS-Venezuela: Api di Balik Asap
Salah satu pemicu utama gejolak pasar emas kali ini adalah memanasnya hubungan antara Amerika Serikat dan Venezuela. Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan langkah keras terhadap pemerintahan Nicolas Maduro dengan memblokade seluruh tanker minyak yang beroperasi dari dan menuju Venezuela.

Tiga kapal tanker—Skipper, Centuries, dan Bella 1—dilaporkan telah dicegat oleh Angkatan Laut AS di perairan Karibia dalam operasi yang disebut sebagai “pemutusan aliran pendapatan ilegal rezim Maduro.”

Dalam pernyataannya kepada media, Trump tak segan memberikan peringatan keras:

“Dia (Maduro) boleh melakukan apa saja. Jika dia ingin bermain keras, maka itu akan menjadi kali terakhir dia bisa bermain,”
seperti dikutip dari Bloomberg News.

Ketegangan ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan energi global, yang pada gilirannya memperkuat persepsi bahwa aset berisiko tinggi—seperti saham atau mata uang emerging market—bisa menjadi rentan. Investor pun beralih ke emas, yang selama berabad-abad dianggap sebagai penyimpan nilai paling andal dalam situasi krisis.

Dampak Kebijakan The Fed: Bunga Turun, Emas Naik
Selain faktor geopolitik, ekspektasi pelonggaran moneter dari The Fed juga menjadi katalis kuat. Meski The Fed telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali sepanjang 2025, pasar meyakini bahwa siklus pelonggaran akan berlanjut hingga 2026, meski dengan kecepatan yang lebih moderat.

Emas, sebagai aset tanpa imbal hasil (non-yielding asset), menjadi lebih menarik ketika suku bunga rendah. Dalam kondisi seperti ini, memegang emas tidak lagi “kalah” dibanding instrumen berbasis bunga seperti obligasi atau deposito.

“Ketika biaya peluang memegang emas turun, permintaan terhadapnya naik. Ini adalah hubungan terbalik klasik antara suku bunga dan harga emas,” jelas Ekonom Senior dari Lembaga Kajian Ekonomi dan Keuangan (LKEK), Rendra Kusuma

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya