Tiga Jaksa di Kalimantan Selatan Diberhentikan Sementara Usai Jadi Tersangka KPK dalam Kasus Pemerasan Pejabat Daerah
Ilustrasi kejahatan--
Tiga Jaksa di Kalimantan Selatan Diberhentikan Sementara Usai Jadi Tersangka KPK dalam Kasus Pemerasan Pejabat Daerah
Skandal korupsi kembali mengguncang institusi penegak hukum di Kalimantan Selatan. Tiga jaksa dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan pemerasan terhadap sejumlah pejabat daerah. Sebagai tindak lanjut, Kejaksaan Agung (Kejagung) langsung memberhentikan ketiganya secara sementara dari jabatan resmi mereka.
Langkah tegas ini diambil tak lama setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat para penegak hukum tersebut. Ketiga jaksa yang kini berstatus tersangka adalah Agustus Albertinus Parlinggoman Napitupulu selaku Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, Asis Budianto yang menjabat sebagai Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel), serta Tri Taruna Fariadi, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) Kejari HSU.
Dukungan Penuh terhadap Proses Hukum oleh KPK
Dalam keterangan resminya pada Senin (22/12/2025), Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa institusinya memberikan dukungan penuh terhadap proses hukum yang sedang berjalan di KPK.
“Kejaksaan Agung mendukung dan menghormati proses hukum terhadap ketiganya oleh KPK. Kami tidak ikut campur atau melakukan intervensi apa pun,” tegas Anang.
Sebagai bentuk komitmen terhadap integritas hukum, Kejagung langsung menonaktifkan ketiga jaksa tersebut dari jabatan resmi mereka sejak ditetapkan sebagai tersangka. Lebih lanjut, selama masa penonaktifan, ketiganya tidak akan menerima gaji maupun tunjangan apapun. Namun, pemberhentian tetap—atau pemecatan—baru dapat dilakukan setelah adanya putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde).
“Nanti putusan perkara pidananya menjadi dasar hukum untuk kita memecat yang bersangkutan secara permanen,” tambah Anang, menegaskan bahwa prinsip praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi.
Modus Pemerasan Berkedok Penanganan Laporan LSM
Kasus ini bermula ketika Agustus Albertinus Parlinggoman Napitupulu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara sejak Agustus 2025. Dalam rentang waktu singkat—hanya empat bulan—Albertinus diduga telah menerima aliran dana tak kurang dari Rp804 juta, baik secara langsung maupun melalui dua perantara: Asis Budianto dan Tri Taruna Fariadi.
Uang tersebut diduga berasal dari praktik pemerasan yang dilakukan terhadap sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara. Sasaran utamanya meliputi Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) setempat.
Modus operandinya terbilang sistematis. Albertinus diduga memanfaatkan laporan pengaduan (Lapdu) dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masuk ke Kejari HSU terkait dugaan pelanggaran di instansi-instansi tersebut. Alih-alih menindaklanjuti laporan tersebut demi kepentingan hukum dan keadilan publik, Albertinus justru menggunakannya sebagai alat tekanan.
Pejabat daerah yang namanya disebut dalam laporan diminta menyerahkan sejumlah uang agar kasus mereka “ditutup” atau tidak dilanjutkan secara hukum. Ancaman terhadap karier dan reputasi menjadi senjata utama dalam skema ini.
Rincian Aliran Dana dari Pejabat Daerah
Berdasarkan hasil penyelidikan KPK, aliran dana sebesar Rp804 juta yang diterima Albertinus dalam periode November–Desember 2025 terbagi dalam dua klaster utama, masing-masing melalui dua rekan dekatnya di Kejari HSU.
Klaster pertama, melalui Tri Taruna Fariadi, mencakup:
Rp270 juta dari Rahman, Kepala Dinas Pendidikan HSU
Rp235 juta dari EVN, Direktur RSUD HSU
Klaster kedua, melalui Asis Budianto, mencakup:
Rp149,3 juta dari Yandi, Kepala Dinas Kesehatan HSU
Namun, peran Asis dan Tri Taruna ternyata tidak hanya sebatas perantara. Keduanya juga diduga menerima aliran dana secara mandiri dari pihak-pihak lain dalam kurun waktu yang lebih panjang.
Asis Budianto, misalnya, diduga menerima total Rp63,2 juta dari berbagai pihak antara Februari hingga Desember 2025. Sementara itu, Tri Taruna Fariadi bahkan disebut menerima aliran dana lebih besar—mencapai Rp1,07 miliar—dalam rentang waktu yang lebih lama.