Bantuan 30 Ton Beras dari Uni Emirat Arab untuk Korban Bencana Sumatra Dikembalikan, Pemkot Medan Ditegur Pusat dan Gubernur Sumut
beras-pixabay-
Bantuan 30 Ton Beras dari Uni Emirat Arab untuk Korban Bencana Sumatra Dikembalikan, Pemkot Medan Ditegur Pusat dan Gubernur Sumut
Di tengah duka yang melanda Pulau Sumatra akibat bencana alam beruntun, sebuah keputusan kontroversial muncul ke permukaan. Bantuan kemanusiaan sebanyak 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA), yang ditujukan untuk para penyintas banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi—Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat—justru dikembalikan oleh Pemerintah Kota Medan. Keputusan ini memicu sorotan publik, mengingat skala bencana yang sangat besar dan kebutuhan mendesak para korban.
Bencana Meluas, Lebih dari 1.000 Nyawa Melayang
Sejak awal Desember 2025, cuaca ekstrem yang melanda kawasan Sumatra memicu serangkaian bencana hidrometeorologis yang belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir. Banjir bandang dan longsor menyapu habis puluhan desa dan kota, menewaskan lebih dari 1.000 orang dan memaksa ribuan warga mengungsi. Infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan fasilitas kesehatan rusak parah, memperparah kesulitan distribusi logistik dan layanan darurat.
Meski dampaknya begitu masif, pemerintah pusat hingga kini belum menetapkan status bencana nasional. Alasannya, menurut pernyataan resmi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana tersebut masih dianggap “dapat ditangani oleh pemerintah daerah dengan dukungan koordinasi nasional”. Namun, pernyataan ini menuai kritik luas dari berbagai pihak, termasuk lembaga kemanusiaan dan akademisi, yang menilai bahwa penilaian tersebut tidak sejalan dengan realitas di lapangan.
Bantuan Asing Ditolak demi “Harga Diri Bangsa”?
Salah satu dampak paling kontroversial dari kebijakan pemerintah pusat adalah penolakan terhadap bantuan internasional. Di saat dunia menawarkan solidaritas, termasuk negara sahabat seperti Uni Emirat Arab, pemerintah Indonesia justru menutup pintu. Alasan yang dikemukakan cukup sensitif: kehormatan dan kedaulatan nasional.
“Indonesia mampu menangani bencana ini secara mandiri,” demikian pernyataan yang kerap diulang oleh pejabat tinggi pemerintah. Namun, di lapangan, realitanya berbeda. Di berbagai titik pengungsian, warga mengeluhkan kelangkaan bahan pangan, obat-obatan, dan air bersih. Relawan lokal bahkan mengakui bahwa kapasitas logistik mereka nyaris kolaps.
30 Ton Beras UEA Dikembalikan, Pemkot Medan Kena Tegur
Dalam skenario inilah bantuan 30 ton beras dari UEA menjadi sorotan. Awalnya, bantuan itu diterima oleh Pemerintah Kota Medan untuk didistribusikan kepada korban di wilayah Sumatra Utara. Namun, dalam waktu singkat, keputusan diubah. Beras tersebut dikembalikan ke negara donor.

Medan|Instagram|
Sumber terpercaya mengungkap bahwa keputusan ini diambil setelah Pemkot Medan menerima teguran keras dari dua pihak otoritatif: pemerintah pusat dan Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi. Keduanya menilai bahwa penerimaan bantuan asing tanpa koordinasi nasional bisa menimbulkan preseden buruk dan bertentangan dengan kebijakan resmi negara.
“Kami harus mematuhi arahan dari pemerintah pusat. Ini bukan soal kebutuhan, tapi soal kebijakan nasional,” ujar seorang pejabat Pemkot Medan yang enggan disebut namanya.
Solidaritas Global vs Prinsip Kedaulatan
Langkah ini memicu perdebatan sengit di ruang publik. Di satu sisi, banyak yang menghargai sikap pemerintah yang ingin menjaga martabat bangsa dan menunjukkan kemandirian. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang menilai bahwa harga diri seharusnya tidak ditempatkan di atas nyawa manusia.
“Ketika orang kelaparan, apakah harga diri lebih penting dari perut yang keroncongan?” tanya seorang aktivis kemanusiaan dari Yogyakarta melalui unggahan media sosial yang viral.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Dr. Rina Susanti, menilai bahwa penolakan bantuan seperti ini justru bisa merusak citra Indonesia di mata dunia. “Solidaritas global adalah bagian tak terpisahkan dari diplomasi kemanusiaan. Menolaknya tanpa alasan teknis yang kuat bisa dianggap sebagai sikap arogan,” ungkapnya.
Suara dari Lapangan: Warga Butuh Bantuan, Bukan Retorika
Di tengah perdebatan elit dan birokrasi, suara para korban justru kerap terabaikan. Di pengungsian Kabupaten Langkat, seorang ibu bernama Siti Aminah (38) mengaku belum menerima bantuan beras selama hampir dua minggu. “Anak saya sakit karena kurang makan. Kami cuma bisa makan ubi dan nasi sisa,” katanya sambil memeluk anaknya yang lemas.