D’Academy 7 Raup Rp5,32 Miliar dalam Semalam: Kompetisi Bakat atau Arena Perburuan Uang?
D academi-Instagram-
D’Academy 7 Raup Rp5,32 Miliar dalam Semalam: Kompetisi Bakat atau Arena Perburuan Uang?
Dalam dunia hiburan Tanah Air, nama D’Academy tak pernah lekang oleh waktu. Namun, di edisi ketujuhnya—D’Academy 7—kompetisi pencarian bakat dangdut yang disiarkan Indosiar ini menimbulkan gelombang pertanyaan baru: masihkah ajang ini murni mengejar kualitas vokal, atau telah bertransformasi menjadi mesin pendulang uang?
Puncak kontroversi terjadi pada Rabu, 17 Desember 2025, ketika malam penentuan Top 3 berlangsung. Bukan hanya panggung yang membara, tapi dompet penonton juga ikut “terbakar”—secara harfiah. Melalui sistem virtual gift (VG) yang diintegrasikan langsung ke siaran langsung, jutaan koin digital berpindah tangan dalam hitungan jam. Hasilnya? Indosiar diperkirakan meraup pendapatan fantastis senilai Rp5,32 miliar hanya dalam satu malam.
Siapa Pemenang Uang, Bukan Hanya Panggung?
Di malam yang menentukan itu, bukan hanya suara yang menentukan siapa layak melaju ke babak final, melainkan jumlah koin virtual yang dikumpulkan oleh masing-masing kontestan.
Tasya, peserta asal Tangerang Selatan, mencatatkan diri sebagai penerima virtual gift terbanyak dengan total 94 juta koin, setara Rp2,02 miliar. Angka ini bukan hanya mengantarkannya ke posisi teratas dalam perolehan koin malam itu, tetapi juga menjadikannya simbol dominasi finansial di atas panggung dangdut.
Tak kalah jauh, Valen dari Pamekasan membuntuti di posisi kedua dengan 80,7 juta koin (sekitar Rp1,7 miliar). Sementara April dari Cirebon—yang sebelumnya dikenal konsisten dalam penampilan vokalnya—harus puas di posisi ketiga dengan 73 juta koin atau Rp1,6 miliar.
Total perputaran uang dari tiga kontestan saja telah mencapai lebih dari Rp5 miliar—belum termasuk gift yang dikirim ke peserta lain atau selama sesi promosi sebelum voting dibuka.
Sistem Virtual Gift: Fitur Hiburan atau Strategi Monetisasi?
Sejak babak Top 10, sistem virtual gift telah menjadi bagian tak terpisahkan dari D’Academy 7. Setiap tahapan—Top 10, Top 8, Top 6, Top 4, Top 3, hingga Grand Final—mengandalkan kontribusi penonton melalui pembelian koin digital untuk mendukung idolanya. Dalam setiap fase, jumlah koin yang dikumpulkan menjadi penentu utama kelolosan.
Dengan setidaknya tujuh momen krusial berbasis sistem ini sepanjang musim, estimasi pendapatan kumulatif Indosiar dari virtual gift saja bisa menembus puluhan miliar rupiah—angka yang sangat signifikan untuk program televisi berdurasi kurang dari tiga jam per episode.
Namun, di balik gemerlap pendapatan, muncul kekhawatiran serius terhadap integritas kompetisi.
Rating Meledak, Tapi Etika Dipertanyakan
Di sisi lain, D’Academy 7 memang mencatatkan prestasi luar biasa dalam hal audiens. Program ini sukses menjadi tayangan nomor satu di Indonesia, dengan rating 8,4%—angka yang langka di era fragmentasi media saat ini. Bahkan, pada jam tayangnya, Indosiar menguasai 41% pangsa penonton, jauh meninggalkan stasiun televisi nasional lainnya.
Pencapaian ini, tentu saja, tidak hanya menarik pendapatan dari virtual gift, tetapi juga membuka pintu lebar bagi kenaikan tarif iklan secara eksponensial. Bagi jaringan televisi, ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan.
Namun, popularitas tidak selalu berjalan seiring dengan legitimasi. Banyak penonton mulai mempertanyakan: apakah bakat masih menjadi prioritas utama?
Warganet Geram: “Ini Bukan Kompetisi, Tapi Pelelangan!”
Respons publik pun tidak main-main. Di media sosial, gelombang kritik mengalir deras. Seorang warganet menulis,
“Indosiar sudah punya banyak iklan, tapi masih serakah dengan sistem virtual gift. Rela menurunkan kualitas acara. Ke depan, kalau ada kompetisi yang mewajibkan kirim koin, sebaiknya kita kompak boikot. Biar yang menang karena bakat, bukan dompet.”
Kritik serupa datang dari pengamat budaya pop yang menyoroti hilangnya esensi kompetisi.
“Tidak profesional jika kemenangan ditentukan oleh siapa yang paling banyak mendapat uang. Ini bukan prestasi, tapi pertunjukan kapitalisme. Indosiar seharusnya menjaga marwah sebagai pencetak penyanyi dangdut berkelas, bukan mesin kasir virtual.”
Ada pula yang menyindir dengan nada sarkastik:
“Wow, keren banget ya Tasya dapat uang sebanyak itu dalam hitungan jam. Tapi apakah suaranya setara dengan jumlah koinnya? Ini bukan lagi ajang pencarian penyanyi, tapi talent show ala pasar modal!”
Saat Uang Jadi Suara, Apakah Bakat Masih Punya Tempat?
Pertanyaan mendasar yang kini mengemuka: Apa tujuan utama dari D’Academy?
Jika dulu kompetisi ini menjadi pintu gerbang bagi penyanyi-penyanyi seperti Lesti Kejora, Fildan, atau Selfi—yang kini menjadi bintang besar berkat kekuatan vokal dan karakter musikal mereka—lalu bagaimana dengan generasi saat ini?