BPK Ungkap Rp399 Triliun Subsidi & Kompensasi Energi: Transparansi Pengelolaan Pertamina Jadi Sorotan
uang-Pexels/pixabay-
BPK Ungkap Rp399 Triliun Subsidi & Kompensasi Energi: Transparansi Pengelolaan Pertamina Jadi Sorotan
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) kembali menyoroti tata kelola anggaran negara di sektor energi. Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2025, BPK mencatat angka fantastis: Rp399,38 triliun telah dialokasikan sebagai subsidi dan kompensasi energi sepanjang 2024 yang melibatkan PT Pertamina (Persero) dan entitas terkait.
Angka tersebut bukan sekadar statistik. Ia mewakili ratusan triliun rupiah uang rakyat yang ditujukan untuk menjaga stabilitas harga bahan bakar, gas elpiji 3 kilogram, hingga kompensasi atas fluktuasi harga energi global. Namun, di balik angka besar itu, BPK mengingatkan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengendalian internal yang kuat, terutama dalam pengelolaan oleh perusahaan pelat merah seperti Pertamina.
Rincian Subsidi & Kompensasi: LPG 3 Kg Jadi Komponen Terbesar
Menurut laporan BPK, dari total Rp399,38 triliun, sebanyak Rp183,10 triliun merupakan alokasi subsidi energi setelah koreksi, sementara sisanya, Rp216,28 triliun, adalah bentuk kompensasi energi.
Subsidi LPG tabung 3 kilogram menjadi komponen terbesar dalam struktur subsidi, dengan nilai mencapai Rp84,04 triliun. Angka ini menunjukkan betapa signifikannya peran gas elpiji murah dalam menopang kehidupan sehari-hari jutaan rumah tangga di Indonesia, terutama di kalangan menengah ke bawah.
Sementara itu, subsidi untuk Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) mencapai Rp22,01 triliun, yang terdiri atas:
Solar: Rp17,45 triliun
Minyak Tanah: Rp4,39 triliun
Di sisi kompensasi, BPK mencatat komponen BBM JBT Solar menerima kompensasi sebesar Rp68,62 triliun, sementara Pertalite (JBKP) mendapat Rp46,80 triliun. Angka-angka ini merefleksikan upaya pemerintah dalam mengimbangi disparitas antara harga keekonomian dan harga jual yang diberikan kepada masyarakat.
Koreksi BPK Selamatkan Anggaran Negara Rp8,19 Triliun
Salah satu poin penting dalam laporan BPK adalah keberhasilan koreksi atas perhitungan subsidi dan kompensasi yang menghasilkan penghematan anggaran negara hingga Rp8,19 triliun. Ini menegaskan betapa vitalnya peran audit eksternal dalam memastikan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana publik.
Lebih spesifik lagi, BPK menemukan bahwa nilai kompensasi yang seharusnya dibayarkan pemerintah kepada badan usaha — termasuk untuk BBM, tarif tenaga listrik, dan pangan — berkurang sebesar Rp1,54 triliun setelah proses audit dilakukan.
“Ini bukan soal angka kecil. Setiap rupiah yang dikoreksi berarti uang rakyat yang diselamatkan,” tegas BPK dalam laporan tertulisnya.
14 Temuan pada Pertamina: Tanda Bahaya Tata Kelola Internal?
Selain soal angka, BPK juga mengungkap 14 temuan audit dalam pengelolaan subsidi BBM JBT, LPG 3 kg, dan kompensasi BBM oleh PT Pertamina serta PT Pertamina Patra Niaga. Temuan-temuan tersebut berkaitan erat dengan sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap regulasi, dengan nilai total mencapai Rp356,64 miliar.
Meski secara nominal jauh lebih kecil dibanding total alokasi dana, temuan ini menjadi lampu kuning bagi manajemen Pertamina. Pasalnya, kelemahan dalam pengendalian internal berpotensi membuka celah bagi inefisiensi, ketidakefektifan, bahkan potensi penyalahgunaan dana publik.
BPK menegaskan bahwa laporan IHPS bukan alat penilaian kinerja, melainkan mekanisme peringatan dini (early warning system). Tujuannya agar pemangku kebijakan — termasuk direksi Pertamina — dapat segera memperbaiki kekurangan sebelum dampaknya meluas ke stabilitas fiskal negara dan kepercayaan publik.
Pertamina Belum Memberi Respons Resmi
Hingga Kamis sore (18/12/2025), redaksi belum menerima tanggapan resmi dari PT Pertamina (Persero) terkait temuan BPK tersebut. Sebelumnya, pihak redaksi telah menghubungi Muhammad Baron, Vice President Corporate Communication Pertamina, untuk meminta klarifikasi atas laporan audit, namun belum ada konfirmasi.
Ketiadaan respons ini memicu pertanyaan publik: Apakah Pertamina tengah mengevaluasi temuan tersebut secara internal? Atau apakah perusahaan sedang merancang langkah korektif untuk memenuhi rekomendasi BPK?