Mengapa Status Darurat Bencana Nasional Belum Ditetapkan di Sumatra? Pengamat: Indikator Sudah Terpenuhi, Tapi Ada Pertimbangan Politik
Banjir-Instagram-
Mengapa Status Darurat Bencana Nasional Belum Ditetapkan di Sumatra? Pengamat: Indikator Sudah Terpenuhi, Tapi Ada Pertimbangan Politik
Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—telah menewaskan hampir seribu jiwa dan menghancurkan puluhan ribu rumah, infrastruktur vital, serta sistem logistik regional. Namun, hingga pekan kedua Desember 2025, pemerintah pusat belum juga menetapkan status Darurat Bencana Nasional, meskipun berbagai indikator hukum dan kemanusiaan telah terpenuhi secara nyata.
Menanggapi keputusan tersebut, Analis Ekonomi-Politik Kusfiardi menyatakan keprihatinan mendalam. Ia menilai bahwa situasi di Sumatra kini telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan terbesar sejak tsunami Aceh 2004, dan seharusnya sudah memasuki fase penanganan nasional penuh sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Indikator Hukum Sudah Jelas Terpenuhi
Dalam keterangan tertulisnya yang dirilis Jumat (12/12/2025), Kusfiardi menekankan bahwa status Darurat Bencana Nasional seharusnya telah ditetapkan. Menurut UU tersebut, penetapan status tersebut didasarkan pada tiga indikator utama: jumlah korban dalam skala besar, kerusakan lintas wilayah yang meluas, serta penanganan yang melebihi kapasitas pemerintah daerah.
“Semua indikator ini telah terpenuhi secara jelas,” tegas Kusfiardi, yang juga merupakan Co-Founder FINE Institute. “Korban meninggal hampir 1.000 jiwa dan terus bertambah. Wilayah terdampak mencakup 53 kabupaten/kota di tiga provinsi besar—artinya, separuh wilayah administratif di Aceh, Sumut, dan Sumbar kini lumpuh.”
Ia menjelaskan bahwa dampak bencana tidak hanya terbatas pada kehilangan nyawa, tetapi juga gangguan sistemik terhadap perekonomian nasional, termasuk pemutusan rantai pasok logistik antarprovinsi, keruntuhan sektor pertanian akibat rusaknya irigasi, serta terganggunya pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Konsekuensi dari Penundaan Status Darurat
Tanpa penetapan status bencana nasional, lanjut Kusfiardi, sejumlah mekanisme krusial dalam penanganan bencana menjadi terhambat secara struktural. Misalnya, bantuan internasional—baik dari negara sahabat maupun lembaga global seperti PBB atau Palang Merah Internasional—tidak bisa masuk secara resmi karena tidak ada kerangka hukum yang memfasilitasi.
“Moratorium utang daerah juga tidak bisa diberlakukan, padahal banyak pemerintah daerah terdampak kini mengalami defisit anggaran akut,” ujarnya. Selain itu, pendanaan dari APBN tidak dapat dialokasikan secara cepat dan fleksibel, sehingga respons darurat—seperti evakuasi, distribusi logistik, dan layanan medis darurat—menjadi lambat.
Koordinasi antarinstansi juga terbatas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, dan Polri tidak memiliki otoritas penuh untuk mengambil alih kendali di lapangan tanpa status darurat nasional. Bahkan, upaya penegakan hukum terhadap praktik deforestasi—yang diduga kuat menjadi penyebab utama intensitas banjir—juga menjadi mandek.
Pengakuan Tanpa Formalitas Hukum?
Ironisnya, menurut Kusfiardi, pemerintah sebenarnya telah mengakui skala bencana ini bersifat nasional. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pratikno, dalam pernyataan resmi sebelumnya menyebut penanganan bencana Sumatra “sudah berskala nasional.” Namun, pengakuan tersebut tidak diikuti dengan tindakan hukum administratif yang diperlukan.