Rupiah dan Ringgit Terpuruk: Tekanan Domestik dan Global Perlemah Mata Uang Asia Tenggara
uang-Pexels/pixabay-
Rupiah dan Ringgit Terpuruk: Tekanan Domestik dan Global Perlemah Mata Uang Asia Tenggara
Di tengah gejolak ekonomi global dan tantangan domestik yang terus menghantui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan hari ini. Rupiah ditutup di level Rp16.685 per dolar AS, melemah sebesar 0,12% dalam perdagangan spot Rabu (10/12/2025). Kondisi ini menempatkan mata uang Indonesia sebagai salah satu yang paling terdampak di kawasan Asia—bahkan berbagi posisi terbawah bersama ringgit Malaysia, yang juga melemah dengan persentase yang sama.
Pergerakan mata uang di Asia hari ini memang tidak seragam. Sementara rupiah dan ringgit terperosok ke zona merah, beberapa mata uang regional justru menunjukkan daya tahan atau bahkan menguat. Dolar Singapura dan yen Jepang mencatat penguatan masing-masing sebesar 0,16%, sementara dolar Taiwan naik tipis 0,04%. Di sisi lain, rupee India turun 0,08% dan won Korea Selatan melemah 0,05%, menunjukkan bahwa tekanan tidak hanya terfokus pada Asia Tenggara, tapi juga menyebar ke berbagai penjuru kawasan.
Ketidakpastian Domestik Jadi Pemicu Pelemahan
Salah satu faktor utama yang mendorong pelaku pasar bersikap hati-hati terhadap rupiah adalah munculnya risiko domestik baru yang berdampak signifikan terhadap anggaran negara. Pemerintah Indonesia kini menghadapi tagihan besar akibat bencana banjir yang melanda tiga provinsi di Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Biaya rehabilitasi infrastruktur akibat bencana tersebut diperkirakan mencapai Rp51,82 triliun, angka yang tak bisa dianggap remeh di tengah upaya pemerintah menjaga keseimbangan fiskal.
“Pemulihan infrastruktur pascabencana memang prioritas, tapi dampaknya terhadap defisit anggaran dan kepercayaan investor tidak bisa diabaikan,” ujar seorang analis ekonomi dari Jakarta.
Selain itu, ketegangan dalam negosiasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat turut menambah beban psikologis di pasar keuangan. Sejak Juli 2025, kedua negara terlibat dalam pembicaraan panjang mengenai tarif impor. Awalnya, AS menuntut tarif sebesar 32%, namun angka tersebut kemudian diturunkan menjadi 19%. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan final yang dicapai.
Meski demikian, pemerintah mencoba menenangkan pasar. Haryo Limanseto, juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menegaskan bahwa proses negosiasi berjalan normal. “Tidak ada masalah khusus dalam negosiasi, dan dinamika dalam proses negosiasi masih berjalan normal,” katanya.
Kehadiran Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer yang dijadwalkan bertemu langsung dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pekan ini diharapkan bisa menjadi katalis positif. Namun, pasar tetap menunggu sinyal konkret—bukan sekadar retorika diplomatik.
Dolar AS Melemah, Tapi Rupiah Tetap Tertekan
Ironisnya, meski Dollar Index (DXY)—indikator kekuatan dolar AS terhadap sekeranjang mata uang utama—justru melemah 0,18% ke level 99,037, rupiah tak mampu memanfaatkan momentum tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap rupiah lebih didorong oleh faktor internal ketimbang eksternal.
Secara global, semua mata tertuju pada Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, yang diperkirakan akan mengumumkan keputusan suku bunga dalam pertemuan kebijakan moneternya hari ini. Pasar luas memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunganya sebagai respons terhadap perlambatan ekonomi global dan tekanan inflasi yang mulai mereda. Jika benar terjadi, langkah tersebut berpotensi memperlemah dolar AS lebih lanjut—namun efeknya terhadap rupiah masih diragukan, mengingat kerentanan dalam negeri yang belum teratasi.
Ketegangan Regional Turut Menambah Gejolak
Tidak hanya tekanan domestik dan kebijakan moneter global, ketidakpastian di tingkat regional juga ikut mewarnai sentimen pasar. Eskalasi ketegangan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja dalam beberapa hari terakhir telah menciptakan kekhawatiran baru di kawasan Asia Tenggara. Konflik diplomatik atau militer—meski masih terbatas—berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi regional, termasuk arus perdagangan dan investasi lintas negara.