Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu Ngamuk di Lokasi Sawit Ilegal, Ancam Pidanakan Perusahaan yang Diduga Picu Banjir Bandang
Masinton-Instagram-
Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu Ngamuk di Lokasi Sawit Ilegal, Ancam Pidanakan Perusahaan yang Diduga Picu Banjir Bandang
Kemarahan Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, kembali menjadi sorotan nasional setelah sebuah video inspeksi mendadak ke area perkebunan kelapa sawit milik PT Sinar Gunung Sawit Raya (SGSR) beredar luas di media sosial. Dalam rekaman yang diunggah akun X @PresidenKopi pada Selasa, 2 Desember 2025, sang bupati tampak geram saat menemukan fakta bahwa perusahaan tersebut menguasai lahan seluas 451 hektar tanpa izin resmi—dan lebih parah lagi, diduga telah menebang habis hutan alam yang seharusnya dilindungi.
Aksi tegas Masinton bukan sekadar reaksi emosional. Ia menegaskan bahwa praktik ilegal tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menjadi pemicu bencana ekologis, termasuk banjir bandang yang baru-baru ini melanda sebagian wilayah Sumatera Utara. Dalam video viral tersebut, Masinton berdiri di tengah hamparan perkebunan sawit, suaranya lantang menyuarakan amarah atas ketidakadilan yang dirasakan rakyatnya.
“Atas Nama Rakyat, Saya Eksekusi!”
Dengan penuh keyakinan, Masinton menyatakan bahwa dirinya tidak akan berkompromi atau membuka ruang negosiasi dengan pihak perusahaan. “Kalau kemarin kalian bisa cincai-cincai (bermain-main), hari ini sama saya tidak ada! Atas nama kepentingan rakyat, saya eksekusi! Saya jalankan! Saya sanggupi!” tegasnya di lokasi.
Ucapan tersebut bukan sekadar retorika. Bupati yang dikenal vokal ini menyatakan bahwa pihak PT SGSR bisa dipidana karena menguasai lahan secara ilegal dan menanam kelapa sawit tanpa izin. “Lahan 451 hektar ini yang bapak-ibu kuasai secara ilegal, dan ditanami tanpa izin—bisa dipidana? Bisa!” ujarnya tegas, menatap langsung perwakilan perusahaan yang berada di lokasi.
Pelanggaran Berlapis: Tak Ada Kemitraan, Tak Ada 20% Lahan untuk Rakyat
Masinton juga mengungkap fakta mengejutkan: selama bertahun-tahun beroperasi di Kabupaten Tapanuli Tengah, PT SGSR ternyata tidak pernah memenuhi kewajiban hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perkebunan. Salah satunya adalah ketentuan wajib memotong 20% dari total lahan untuk diberikan kepada masyarakat sekitar melalui skema kemitraan.
“Kalian tanam (sawit) semua ini! Undang-undang perintahkan 20 persen lahan kalian dipotong, tapi kalian tidak laksanakan itu!” ungkapnya dengan nada kecewa bercampur murka.
Padahal, skema kemitraan ini dirancang untuk menyeimbangkan kepentingan korporasi dan hak masyarakat lokal. Namun, dalam praktiknya, PT SGSR justru mendominasi seluruh lahan—tanpa memberikan ruang bagi petani kecil atau masyarakat adat yang secara historis menggantungkan hidup dari hutan tersebut.
Dugaan Kaitan dengan Banjir Bandang Sumatera Utara
Yang semakin memperkeruh suasana adalah dugaan kuat bahwa aktivitas deforestasi massal oleh PT SGSR berkontribusi terhadap bencana banjir bandang yang baru-baru ini melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara. Para ahli lingkungan dan aktivis lokal sejak lama memperingatkan bahwa penggundulan hutan untuk perkebunan monokultur—seperti kelapa sawit—menyebabkan tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sehingga saat hujan deras turun, air langsung meluncur deras ke pemukiman warga.
Masinton pun secara tidak langsung menyoroti kaitan tersebut. “Kita lihat apa yang terjadi akibat ulah kalian. Rakyat yang jadi korban. Sekarang, saya tidak akan diam!” tegasnya.