Refleksi Akhir Tahun dalam Khutbah Jumat 5 Desember 2025: Menyambut 2026 dengan Muhasabah, Bukan Euforia

Refleksi Akhir Tahun dalam Khutbah Jumat 5 Desember 2025: Menyambut 2026 dengan Muhasabah, Bukan Euforia

masjid-xegxef/pixabay-

Refleksi Akhir Tahun dalam Khutbah Jumat 5 Desember 2025: Menyambut 2026 dengan Muhasabah, Bukan Euforia
Di penghujung tahun 2025, umat Muslim di seluruh Indonesia kembali diingatkan untuk tidak larut dalam euforia pergantian tahun ala dunia modern. Khutbah Jumat edisi 5 Desember 2025 mengajak jamaah untuk menatap pergantian tahun bukan sebagai ajang hiburan semata, melainkan sebagai momentum spiritual untuk muhasabah (introspeksi diri) dan ishlah (perbaikan hidup). Dalam suasana yang penuh makna ini, khutbah yang bertema "Renungi Hakikat Perayaan Tahun Baru" menjadi pengingat penting: waktu adalah amanah, dan setiap detik yang berlalu tak akan pernah kembali.

Waktu: Anugerah yang Tak Bisa Dikembalikan
Dalam pembukaan khutbah pertama, khatib mengawali dengan puji syukur kepada Allah SWT, pencipta langit dan bumi, yang Maha Mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan yang keluar darinya. Di tengah gemerlap perayaan tahun baru yang kerap diwarnai kembang api, sorak-sorai, dan pesta, umat Islam diajak untuk merefleksikan makna sejati dari waktu.



“Waktu adalah anugerah yang tak ternilai,” tegas khatib. “Kita diberikan kesempatan hidup di dunia bukan untuk bersenang-senang semata, melainkan untuk menanam benih kebaikan yang kelak akan dipanen di akhirat.”

Al-Qur’an menyebut kehidupan dunia sebagai “lahwu wa la’ib”—permainan dan senda gurau (QS Al-Ankabut: 64). Namun, sebutan ini bukan berarti manusia boleh meremehkan kehidupan dunia. Justru, ini adalah peringatan bahwa dunia bersifat sementara, sedangkan akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Karenanya, setiap momen yang kita lewati harus dipenuhi dengan amal saleh, bukan kesia-siaan.

Tujuan Hidup: Beribadah dalam Makna yang Luas
Khutbah ini juga mengingatkan kembali pada ayat yang sangat fundamental:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)


Namun, ibadah dalam Islam tidak terbatas pada ritual seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Ibadah mencakup seluruh aktivitas yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan sesama, selama dilakukan dengan niat tulus karena Allah. Bekerja keras demi nafkah halal, menjaga hubungan silaturahmi, menolong tetangga, hingga berkontribusi bagi kemajuan masyarakat—semua itu adalah bentuk ibadah yang utuh.

Dalam konteks akhir tahun, ini berarti refleksi bukan hanya soal pencapaian materi, tapi juga sejauh mana kita telah mengisi waktu dengan nilai-nilai yang mendekatkan kita pada ridha Ilahi.

Bahaya Menyia-nyiakan Waktu
Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ayyuhal Walad, mengingatkan:
“Tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah ketika ia sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.”

Pernyataan ini terasa sangat relevan di era digital, di mana banyak orang menghabiskan berjam-jam untuk konten hiburan yang tak memberi manfaat akhirat. Di momen akhir tahun, ketika orang-orang sibuk menghitung liburan atau rencana pesta, umat Islam diajak untuk menghitung amal, bukan sekadar pencapaian duniawi.

Al-Qur’an juga menggambarkan penyesalan yang pedih di akhirat:
“Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS Al-Mu’minun: 99)

Namun, Allah berfirman: “Sekali-kali tidak.” Penyesalan di akhirat tak akan mengubah apa-apa. Karena itulah, kesempatan hidup hari ini adalah harta paling berharga.

Tahun Baru: Momentum untuk Bangkit, Bukan Merayakan
Khutbah ini menolak gagasan bahwa pergantian tahun harus dirayakan dengan gemerlap dan kebisingan. Sebaliknya, waktu ini harus dimaknai sebagai pintu menuju perbaikan diri. Sisa usia yang masih diberikan adalah kesempatan emas untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, memperdalam ibadah, dan memperluas kontribusi kebaikan.

Syekh Ahmad ibn Atha’illah as-Sakandari, dalam Al-Hikam, mengingatkan:
“Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah.”

Kalimat ini menjadi tamparan halus: bukan panjangnya usia yang menentukan kualitas hidup, melainkan seberapa banyak nilai kebaikan yang kita tebar dalam waktu yang tersedia.

Baca juga: UDAH RILIS Cry or Better Yet Beg Chapter 73 Bahasa Indonesia, Sub Indo Makin Seru Gas Skuy

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya