Pernyataan Kontroversial Kepala BNPB soal Bencana Sumatera Tuai Kecaman Nasional dan Sorotan Internasional

Pernyataan Kontroversial Kepala BNPB soal Bencana Sumatera Tuai Kecaman Nasional dan Sorotan Internasional

Banjir-Instagram-

Pernyataan Kontroversial Kepala BNPB soal Bencana Sumatera Tuai Kecaman Nasional dan Sorotan Internasional

Pernyataan kontroversial yang dilontarkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letnan Jenderal TNI Suharyanto, terkait bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera pada akhir November 2025, kini menjadi sorotan luas di dalam maupun luar negeri. Ucapan Suharyanto yang menyebut bencana tersebut “hanya tampak mencekam di media sosial” memicu kemarahan publik, terutama di tengah fakta bahwa ratusan nyawa telah melayang dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal.



Bencana Skala Besar yang Menyentuh Hati Dunia
Pada akhir pekan lalu, bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor terjadi hampir bersamaan di tiga provinsi di Sumatera: Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Wilayah Tapanuli Tengah di Sumatera Utara menjadi salah satu titik terparah, dengan laporan kerusakan infrastruktur yang masif, jaringan komunikasi terputus, dan korban jiwa mencapai ratusan orang. Namun, justru di tengah duka mendalam masyarakat, pernyataan Suharyanto dalam konferensi pers pada 30 November 2025 justru memperkeruh suasana.

“Memang kemarin kelihatannya mencekam ya, kan berseliweran di media sosial, tetapi begitu kami tiba langsung di lokasi, banyak daerah yang sudah tidak hujan. Yang paling serius memang Tapanuli Tengah, tetapi wilayah lain relatif membaik,” ujarnya.

Pernyataan tersebut dianggap meremehkan penderitaan warga yang terdampak. Banyak netizen menyebut bahwa ungkapan “hanya tampak mencekam di media sosial” terkesan mengabaikan realitas di lapangan dan tidak empatik terhadap korban bencana.


Respons Publik dan Sorotan Media Internasional
Kemarahan publik semakin memuncak ketika sejumlah stasiun televisi internasional, seperti BBC, Al Jazeera, dan CNN, menyiarkan laporan khusus mengenai bencana di Sumatera. Cuplikan video dari lokasi bencana menunjukkan desa-desa hanyut, jembatan ambruk, dan warga yang terjebak di antara puing reruntuhan. Fakta bahwa dunia internasional memberikan perhatian luas terhadap tragedi ini semakin menegaskan betapa besar skala dampak bencana tersebut.

Sebuah unggahan viral di platform Threads oleh akun @obrolan.negri pada 30 November menampilkan potongan liputan media asing yang secara eksplisit menyoroti kerusakan parah dan krisis kemanusiaan di Sumatera. Akun tersebut menulis, “Ketika bencana yang menimpa masyarakat Aceh, Sumut, Sumbar, mengguncang Media Internasional. Kepala BNPB bilang bencana Aceh–Sumut–Sumbar hanya mencekam di media sosial. Ingat, ini semua bukan bencana nasional.”

Komentar tersebut menjadi viral dan memicu gelombang kritik dari warganet. Akun @aneamir menuliskan, “Lembaga negeri ini harus banyak belajar ngomong yang bijak.” Sementara akun @tataaliffianti lebih tajam: “Kepala BNPB mengabdi pada kepentingan yang di atasnya, bos besar pemilik tambang dan illegal logging.” Bahkan, akun @jejakrasa27 menyebut: “Pemerintah Indonesia memalukan.”

++++

Empati sebagai Fondasi Penanganan Bencana
Para pengamat kebencanaan dan aktivis sosial menilai bahwa pernyataan Suharyanto tidak hanya kurang sensitif, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penanggulangan bencana. “Dalam situasi krisis, yang paling dibutuhkan masyarakat adalah empati, transparansi, dan tindakan cepat—bukan pernyataan yang terkesan meremehkan,” ungkap Dr. Rina Susanti, pakar manajemen bencana dari Universitas Indonesia.

Ia menekankan bahwa ketika media sosial menjadi saluran utama informasi selama bencana terjadi—terutama saat infrastruktur komunikasi rusak—maka laporan masyarakat di media sosial justru menjadi sumber data darurat yang sangat berharga bagi penanganan awal.

Desakan untuk Evaluasi Kebijakan dan Tanggung Jawab Publik
Di tengah gelombang kritik, sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan dan kemanusiaan, mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem mitigasi dan respons bencana. Mereka juga menuntut agar pejabat publik, termasuk Kepala BNPB, memberikan klarifikasi atau permintaan maaf atas pernyataan yang dianggap tidak pantas.

“Korban bukan angka. Mereka adalah manusia dengan keluarga, harapan, dan masa depan yang hancur dalam hitungan jam. Pernyataan seperti itu justru memperdalam luka,” tegas Fatimah Lubis, koordinator relawan kemanusiaan di Medan.

Baca juga: Potret Mengkhawatirkan: Hutan Sumatera Berubah dari Hijau Menjadi Coklat, Citra Satelit Ungkap Skala Pembalakan Liar yang Mengkhawatirkan

Catatan Penting: Bencana dan Perubahan Iklim
Para ahli lingkungan juga mengingatkan bahwa bencana di Sumatera bukanlah kejadian terisolasi. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali telah meningkatkan kerentanan wilayah terhadap banjir dan longsor. Dalam konteks perubahan iklim global, Indonesia—terutama wilayah Sumatera—masuk dalam kategori zona rawan bencana ekstrem.

“Jika kita terus mengabaikan tanda-tanda alam dan tidak serius memperbaiki tata kelola lingkungan, maka bencana seperti ini akan terus berulang, bahkan dengan skala yang lebih besar,” ungkap Dr. Arif Wibowo, peneliti senior dari Pusat Studi Perubahan Iklim.

Penutup: Saatnya Pemimpin Berbicara dengan Hati
Kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam krisis, kata-kata memiliki kekuatan—bisa menyembuhkan, atau justru melukai. Di saat dunia menunjukkan simpati, pejabat publik diharapkan menjadi representasi rasa kemanusiaan, bukan menjadi sumber kontroversi baru. Masyarakat menanti bukan hanya penanganan cepat dan efektif, tetapi juga empati yang tulus dari para pemimpinnya.

Dengan bencana yang terus mengancam, dan kepercayaan publik yang rapuh, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar retorika—ia membutuhkan kepemimpinan yang berhati.

 

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya