Sisipkan Barcode Donasi! Film Tragedi Nia Kurnia Sari, Malah Picu Kemarahan Publik
Nia-Instagram-
Sisipkan Barcode Donasi! Film Tragedi Nia Kurnia Sari, Malah Picu Kemarahan Publik
Dunia perfilman Tanah Air kembali digemparkan oleh kontroversi. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada film berjudul Tragedi Nia Kurnia Sari, yang diangkat dari kisah nyata seorang remaja asal Padang Pariaman yang menjadi korban kejahatan seksual dan pembunuhan yang sangat tragis. Namun, alih-alih menghormati memori mendiang Nia, film ini justru menuai kecaman luas karena dianggap mengeksploitasi tragedi kelam tersebut demi keuntungan komersial—salah satunya dengan menyematkan barcode donasi di akhir tayangan.
Film yang disutradarai oleh Aditya Gumay dan diproduseri oleh selebriti ternama Ruben Onsu ini dijadwalkan tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia pada 4 Desember 2025. Meski belum resmi dirilis secara luas, Tragedi Nia Kurnia Sari telah memicu gelombang protes di media sosial. Netizen menilai bahwa pihak keluarga dan tim produksi telah melampaui batas etika dengan mengubah kisah kesedihan menjadi komoditas hiburan semata.
Dari Tragedi Nyata ke Layar Lebar: Narasi yang Kontroversial
Kisah Nia Kurnia Sari bukan sekadar cerita fiksi. Gadis muda berusia 17 tahun itu tewas secara mengenaskan pada tahun lalu setelah menjadi korban rudapaksa dan pembunuhan oleh Indra Septiarman, seorang pria yang mengincarnya saat Nia sedang berjualan gorengan di kampung halamannya. Nia, yang dikenal sebagai anak penurut dan pekerja keras, menjalani kesehariannya dengan membantu perekonomian keluarga melalui usaha kecil-kecilan. Nasibnya yang tragis sempat menggugah rasa empati nasional.
Namun, apa yang terjadi selanjutnya justru memicu kekecewaan mendalam. Keluarga Nia diketahui telah membuka “museum” yang menampilkan barang-barang pribadi sang korban, lalu mengizinkan kisahnya diangkat ke layar lebar. Bagi banyak warga, langkah ini terasa seperti upaya sistematis untuk memanfaatkan duka keluarga sebagai ladang pendapatan—dan kini, film ini dianggap sebagai puncak dari eksploitasi tersebut.
Barcode Donasi di Akhir Film: Langkah Bijak atau Cari Perhatian?
Salah satu elemen paling disorot dari film ini adalah munculnya kode QR (barcode) di layar bioskop setelah kredit penutup. Layar menampilkan pesan: “Salurkan donasi Anda dengan scan QRIS”, disertai dengan penjelasan bahwa dana yang terkumpul akan digunakan untuk membangun pesantren, rumah Quran, serta kegiatan sosial lainnya.
Namun, alih-alih menyentuh hati, ajakan donasi ini justru memicu amarah publik. Banyak yang mempertanyakan etika meminta uang dari penonton yang sudah membayar tiket bioskop—apalagi untuk film yang bertema tragedi kekerasan terhadap perempuan.
“Film ini seolah bilang: ‘Kami jual kesedihanmu, dan setelah kamu nangis, bayar lagi ya,’” tulis salah satu warganet di platform X (sebelumnya Twitter).
Respons Publik: Antara Empati dan Kecaman
Kritik terhadap film ini bukan hanya datang dari kalangan netizen biasa, tetapi juga dari aktivis hak perempuan dan pegiat literasi media. Mereka menilai bahwa narasi film seharusnya fokus pada keadilan bagi korban, bukan pada dramatisasi yang berpotensi melukai keluarga atau bahkan menyakiti ingatan korban.
Lebih jauh lagi, sorotan juga mengarah kepada ibu kandung Nia, yang kerap tampil di media untuk mempromosikan film tersebut. “Nyokapnya aja malah petantang-petenteng nyuruh orang-orang nonton filmnya,” tulis seorang pengguna media sosial dengan nada kesal.