Apa Arti Hadeging Ratu? Benarkah Viral Usai Dikatakan KGPH Benowo Berikut Makns Sebenarnya, Konteks Keraton, dan Pesan Mendalam tentang Takdir Kekuasaan

Apa Arti Hadeging Ratu? Benarkah Viral Usai Dikatakan KGPH Benowo Berikut Makns Sebenarnya, Konteks Keraton, dan Pesan Mendalam tentang Takdir Kekuasaan

tanda tanya-geralt/pixabay-

Apa Arti Hadeging Ratu? Benarkah Viral Usai Dikatakan KGPH Benowo Berikut Makns Sebenarnya, Konteks Keraton, dan Pesan Mendalam tentang Takdir Kekuasaan

Setelah kabar duka atas wafatnya Susuhunan Pakubuwono XIII meredup, sebuah frasa misterius kembali mencuat di jagat media sosial Indonesia—“hadeging ratu.” Frasa yang terdengar seperti bahasa klasik Jawa ini menjadi perbincangan hangat di TikTok, Twitter, dan Instagram, terutama setelah diucapkan oleh KGPH Benowo, adik kandung almarhum Susuhunan, dalam sebuah video yang kini telah ditonton jutaan kali.



Namun, di balik keviralannya, ada lebih dari sekadar kata-kata. Ada sejarah, filosofi keraton, dan pesan mendalam tentang takdir, kekuasaan, dan keheningan yang mengalahkan ambisi. Artikel ini akan mengupas tuntas makna sejati dari “hadeging ratu,” konteks historisnya, serta mengapa ucapan KGPH Benowo begitu menggema di hati masyarakat.

Asal Usul Viral: Ucapan KGPH Benowo yang Menggetarkan
Dalam video berdurasi 47 detik yang diunggah akun TikTok @jogja.student, KGPH Benowo tampak tenang namun penuh kekhusyukan saat mengingat pesan terakhir sang kakak sebelum meninggal. Dengan nada yang pelan namun tegas, ia berkata:

“Beliau mewanti-wanti: hati-hati, jangan main-main dengan hadeging ratu. Resikonya sangat besar. Tahta bukan hadiah yang bisa direbut. Tahta akan menemukan pemiliknya sendiri.”


Kalimat sederhana itu, namun sarat makna, langsung memicu gelombang spekulasi. Banyak netizen penasaran: apa itu hadeging ratu? Apakah ini istilah baru dalam dinasti Keraton Surakarta? Atau justru sebuah kode rahasia?

Tak lama kemudian, berbagai akun budaya dan sejarah mulai merespons. Akun @Elrumi.ammar.ghani.official mengklaim bahwa hadeging ratu merujuk pada anak laki-laki sulung—bukan yang bungsu—yang secara tradisional memiliki hak prioritas dalam garis suksesi. Sementara itu, @Aktor_baliklayar menekankan bahwa KGPH Benowo hanya menyampaikan apa yang ia pahami berdasarkan pengalaman pribadi dan tradisi keluarga, tanpa maksud menyindir atau menggiring opini.

Yang menarik, akun @aloena.khirani menyebut KGPH Benowo sebagai sosok yang “bijak dalam keheningan”—kemampuan langka di era penuh kegaduhan. Sementara @Ida_Sri_Sutampi mendoakan agar tidak terjadi persaingan kekuasaan yang mengoyak keharmonisan Kraton Surakarta pasca-kepergian Susuhunan XIII.

Fakta Sejarah: Apakah Benar “Hadeging Ratu”?
Meski istilah ini viral sebagai “hadeging ratu,” para ahli sejarah keraton dan budaya Jawa menyatakan bahwa ada kesalahan kecil dalam pengucapan. Istilah yang benar adalah “Hadeging Kraton”—bukan hadeging ratu.

Dalam tradisi Kraton Surakarta Hadiningrat, Hadeging Kraton adalah konsep filosofis yang menyatakan berdirinya sebuah keraton bukan semata karena kekuatan militer atau intrik politik, melainkan melalui keseimbangan spiritual dan sosial yang disebut “Empat Penjuru” (Sanga Sanga):

Kulon (Barat): simbol kebijaksanaan dan keheningan
Wetan (Timur): simbol kebangkitan dan cahaya
Kidul (Selatan): simbol kekuatan dan keteguhan
Utara (Utara): simbol perlindungan dan kesejahteraan
Keraton yang hadeg (berdiri kokoh) adalah yang didukung oleh keempat penjuru ini—bukan hanya oleh garis keturunan, tapi oleh keseimbangan moral, spiritual, dan keadilan.

Lalu, dari mana asal kata “ratu”?

Ratu dalam konteks ini bukan merujuk pada penguasa perempuan, melainkan simbol kekuasaan ilahi yang mengalir secara alami, seperti air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dalam tradisi Jawa klasik, ratu sering dipakai sebagai metafora untuk “kekuasaan yang ditakdirkan,” bukan “kekuasaan yang diraih.”

Jadi, ketika KGPH Benowo mengatakan “hadeging ratu,” ia sebenarnya menggunakan istilah yang sudah mengalami pergeseran fonologis—mungkin karena pengucapan lisan yang cepat, atau karena pengaruh populer—namun maknanya tetap utuh: kekuasaan yang muncul bukan karena perlawanan, tapi karena kesesuaian dengan takdir.

Filosofi di Balik Kata: “Tahta Akan Menemukan Pemiliknya Sendiri”
Ini adalah inti pesan yang ingin disampaikan KGPH Benowo—dan inilah yang membuatnya begitu menggugah.

Di zaman di mana ambisi sering diukur dengan jumlah like, retweet, dan klaim kekuasaan, ucapan ini seperti angin sejuk yang menenangkan. Ia menegaskan bahwa tahta bukanlah hadiah yang bisa direbut dengan kekerasan, intrik, atau manipulasi. Ia adalah amanah yang hanya bisa diemban oleh mereka yang siap secara spiritual, moral, dan emosional.

Dalam budaya Jawa, ada konsep “tunggal wengi, tunggal kawulo”—satu malam, satu hamba. Artinya, setiap jabatan memiliki waktu dan pemilik yang telah ditentukan oleh alam semesta. Memaksakan sesuatu yang belum waktunya justru akan membawa bencana—baik secara pribadi maupun kolektif.

KGPH Benowo, dengan sederhananya, mengingatkan kita bahwa kekuasaan sejati bukan tentang siapa yang paling berteriak, tapi siapa yang paling tenang—dan paling siap menerima tanggung jawab.

Mengapa Pesan Ini Begitu Relevan di Era Kini?
Di tengah gempuran politik identitas, persaingan tahta di berbagai lembaga, bahkan di dunia hiburan dan media sosial—di mana banyak orang berlomba-lomba menjadi “raja” tanpa memahami makna kekuasaan—ucapan KGPH Benowo menjadi refleksi mendalam.

Ia bukan sekadar menyampaikan tradisi keraton. Ia menyampaikan etika kepemimpinan abadi:

Kekuasaan bukan hak, tapi amanah.
Keberhasilan bukan tentang menang, tapi tentang kepatuhan pada takdir.
Kepemimpinan sejati lahir dari ketulusan, bukan ambisi.
Dan yang paling penting: tidak semua yang bisa diambil, seharusnya diambil.
Pesan ini tidak hanya relevan untuk Kraton Surakarta, tapi juga untuk perusahaan, organisasi, keluarga, bahkan hubungan pribadi. Siapa pun yang pernah berada di posisi memimpin, pasti pernah merasakan tekanan untuk “mengambil” sesuatu yang belum waktunya.

Keraton Surakarta dan Peran “Ratu” dalam Sejarah
Untuk memperdalam pemahaman, mari kita lihat contoh nyata dalam sejarah Kraton Surakarta. Di sisi barat kompleks keraton, terdapat Kanjeng Ratu Kedaton—seorang tokoh perempuan yang bukan hanya istri raja, tapi penjaga spiritual dan moral keraton. Ia adalah simbol kekuatan halus yang menopang kestabilan tahta.

Dalam tradisi Jawa, peran perempuan keraton seringkali lebih menentukan daripada yang terlihat. Mereka adalah penjaga nilai-nilai luhur, pendidik para penerus, dan penengah konflik. Jadi, ketika KGPH Benowo menyebut “ratu,” ia mungkin juga sedang mengingatkan pada kekuatan feminin yang tak terlihat tapi sangat vital dalam menjaga keharmonisan kerajaan.

Baca juga: Jepang Kalahkan Jerman 2-1 di Piala Dunia 2022: Kisah Dua Pahlawan Tak Terlupakan yang Mengguncang Dunia Sepak Bola

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya