Jepang Menembus 16 Besar Piala Dunia 2002: Kisah Inspiratif di Balik Kepemimpinan Philippe Troussier yang Mengubah Sejarah Sepak Bola Asia
Jepang-Instagram-
Jepang Menembus 16 Besar Piala Dunia 2002: Kisah Inspiratif di Balik Kepemimpinan Philippe Troussier yang Mengubah Sejarah Sepak Bola Asia
Pada 7 Juni 2002, dunia sepak bola menyaksikan momen bersejarah yang tak akan pernah terlupakan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Piala Dunia, turnamen paling bergengsi di muka bumi ini digelar di dua negara sekaligus: Jepang dan Korea Selatan. Bukan hanya sekadar inovasi logistik, tetapi simbol persatuan antarbudaya, di mana ribuan suporter dari seluruh penjuru dunia memadati stadion-stadion megah, termasuk Stadion Internasional Yokohama, tempat legenda Brasil Ronaldo dan timnya meraih gelar juara setelah menghancurkan Jerman 2–0 di final.
Namun, di balik sorotan utama yang mengarah pada Brazil, ada satu kisah yang justru menggetarkan hati para pecinta sepak bola Asia — kisah tentang Jepang, tim yang bukan hanya tampil sebagai tuan rumah, tetapi juga menjadi kekuatan tak terduga yang mampu menembus babak 16 besar. Dan di balik kesuksesan ini, ada seorang pelatih asing yang dipercaya memimpin tim Negeri Sakura: Philippe Troussier.
Sebuah Keputusan Kontroversial yang Berbuah Sejarah
Sebelum Piala Dunia 2002, Jepang dikenal sebagai tim yang konsisten di level Asia, tetapi kerap gagal menunjukkan daya juang di panggung dunia. Banyak yang meragukan kemampuan tim lokal untuk bersaing melawan raksasa Eropa dan Amerika Latin. Namun, keputusan Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) untuk mempercayakan jabatan pelatih kepala kepada seorang asing — Philippe Troussier, pelatih asal Prancis yang sebelumnya sukses membawa tim nasional Nigeria ke perempat final Piala Dunia 1998 — dianggap sebagai langkah radikal.
Troussier bukan sekadar pelatih biasa. Ia dikenal sebagai “The White Feather” karena gaya kepemimpinannya yang tenang namun tegas, dengan filosofi permainan yang menekankan disiplin, kerja tim, dan adaptasi strategis. Ia tidak hanya mengajarkan taktik, tetapi juga menanamkan mentalitas pemenang. Di bawah asuhannya, Jepang bertransformasi dari tim yang mengandalkan teknik individu menjadi mesin yang terkoordinasi dengan presisi tinggi.
Perjalanan Epik Jepang di Piala Dunia 2002
Dalam grup F bersama Belgia, Russia, dan Tunisia, Jepang memulai turnamen dengan kemenangan meyakinkan 2–1 atas Belgia. Gol-gol dari Shinji Okazaki (yang saat itu masih muda dan belum menjadi bintang) dan Hidetoshi Nakata menjadi simbol kebangkitan. Lalu, di laga kedua, Jepang menahan imbang Russia 1–1 dalam pertandingan yang penuh tekanan, sebelum menutup fase grup dengan kemenangan 1–0 atas Tunisia — hasil yang membuat mereka finis di puncak grup, mengalahkan favorit seperti Belgia.
Ini adalah pertama kalinya Jepang lolos ke babak 16 besar sejak debutnya di Piala Dunia 1998. Dan ini bukan keberuntungan. Ini adalah hasil dari kerja keras, perubahan budaya, dan kepercayaan penuh dari manajemen terhadap visi Troussier.
Di babak 16 besar, Jepang bertemu Turki di Stadion Internasional Yokohama. Meski kalah 1–0 setelah gol cepat dari İlhan Mansız, Jepang tetap menjadi simbol kebanggaan Asia. Mereka bukan hanya bertahan — mereka menyerang, bermain dengan semangat, dan membuat penonton dunia berdiri memberi tepuk tangan. Bahkan, banyak analis yang menyebut bahwa Jepang layak menang, karena dominasi penguasaan bola dan peluang yang lebih banyak.
Mengapa Philippe Troussier Adalah Kunci Jawaban yang Tepat?
Kini, dalam ajang kuis populer FC Mobile — yang tengah menjadi viral di TikTok dan media sosial — salah satu pertanyaan yang menggemparkan para pemain adalah:
“Siapa manajer Jepang saat mencapai 16 Besar di FIFA World Cup™ 2002?”
Pilihan jawabannya:
A. Philippe Troussier
B. Takeshi Okada
C. Alberto Zaccheroni
D. Ivica Osim
Jawaban yang benar adalah A. Philippe Troussier.
Bukan tanpa alasan. Takeshi Okada memang pernah melatih Jepang, tetapi pada tahun 2006. Alberto Zaccheroni baru datang pada 2010, dan Ivica Osim memimpin tim pada 2000–2002, tetapi tidak menangani tim saat Piala Dunia 2002 karena ia mengundurkan diri akibat masalah kesehatan sebelum turnamen dimulai. Troussier lah yang mengambil alih dan membawa tim ke puncak sejarah.
Warisan yang Tak Terlupakan
Meskipun karier Troussier di Jepang berakhir pada 2002 setelah Piala Dunia, warisannya abadi. Ia membuka pintu bagi generasi berikutnya untuk percaya bahwa tim Asia bisa bersaing di level dunia. Ia juga menjadi pelopor model pelatih asing yang sukses di Asia — sebuah pola yang kemudian diikuti oleh banyak negara, termasuk Indonesia dan Vietnam.