Perubahan Arah Kebijakan Fiskal: Harris Turino Soroti Gaya Purbaya Yudhi Sadewa yang Beda dari Sri Mulyani

Perubahan Arah Kebijakan Fiskal: Harris Turino Soroti Gaya Purbaya Yudhi Sadewa yang Beda dari Sri Mulyani

Purabaya-Instagram-

Perubahan Arah Kebijakan Fiskal: Harris Turino Soroti Gaya Purbaya Yudhi Sadewa yang Beda dari Sri Mulyani

Dunia ekonomi Indonesia kini tengah menyaksikan pergeseran paradigma kebijakan fiskal yang cukup signifikan. Anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino, menilai bahwa kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menandai babak baru dalam pengelolaan ekonomi nasional—sebuah pendekatan yang secara filosofis berbeda dari era Sri Mulyani Indrawati.



Menurut Harris, jika Sri Mulyani dikenal dengan pendekatan kapitalisme pasar yang sangat disiplin, hati-hati, dan mengandalkan mekanisme pasar sebagai penggerak utama, maka Purbaya justru membawa Indonesia ke arah state capitalism atau kapitalisme negara. Dalam model ini, pemerintah tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga aktor langsung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari Pasar ke Negara: Perubahan Paradigma Ekonomi
“Perbedaan mendasar terletak pada tingkat intervensi negara,” ujar Harris dalam wawancara eksklusif. Ia menjelaskan bahwa selama masa kepemimpinan Sri Mulyani, kebijakan fiskal cenderung konservatif—fokus pada stabilitas makroekonomi, pengendalian defisit anggaran, dan kepercayaan investor asing. Pendekatan ini memang berhasil menjaga Indonesia dari gejolak eksternal, namun kerap dikritik karena kurang responsif terhadap kebutuhan sektor riil.

Sebaliknya, di bawah Purbaya, pemerintah tampak lebih berani mengambil peran aktif. Salah satu bukti konkret yang disoroti Harris adalah kebijakan penyaluran dana likuiditas senilai Rp200 triliun dari Bank Indonesia kepada enam bank umum nasional. Langkah ini, menurutnya, bukan sekadar penyuntikan dana biasa, melainkan bentuk intervensi strategis untuk memperkuat sistem keuangan dan mendorong kredit ke sektor produktif.


Kapitalisme Negara vs Kapitalisme Pasar: Mana yang Lebih Tepat?
Harris menekankan bahwa baik kapitalisme pasar maupun kapitalisme negara sama-sama berpijak pada prinsip ekonomi pasar. Namun, yang membedakan adalah sejauh mana negara terlibat dalam mengarahkan arus ekonomi. Dalam konteks Indonesia saat ini, ia melihat pendekatan Purbaya sebagai respons terhadap tantangan ekonomi global yang semakin kompleks—mulai dari perlambatan ekonomi dunia, ketidakpastian geopolitik, hingga tekanan inflasi.

“Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan mekanisme pasar bebas. Negara harus hadir sebagai penyeimbang sekaligus pendorong,” tegasnya.

Namun, Harris juga mengingatkan bahwa keberanian mengambil langkah besar harus diimbangi dengan pengawasan ketat. Dana publik senilai ratusan triliun rupiah, katanya, tidak boleh hanya berputar di sektor keuangan atau menjadi alat spekulasi. “Uang rakyat harus benar-benar menyentuh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), industri manufaktur, serta sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.

Menuju Ekonomi Pancasila yang Ideal
Menariknya, Harris melihat potensi besar dalam pendekatan Purbaya untuk mewujudkan konsep “ekonomi Pancasila”—sebuah sistem yang selama ini lebih banyak menjadi wacana daripada praktik nyata. Menurutnya, ekonomi Pancasila bukanlah sistem sosialis atau kapitalis murni, melainkan jalan tengah yang menyeimbangkan efisiensi pasar dengan keadilan sosial.

“Jika Purbaya mampu menjaga keseimbangan antara peran aktif negara dan dinamika pasar, maka kita bisa benar-benar mendekati ekonomi Pancasila yang selama ini hanya menjadi mimpi,” katanya optimistis.

Namun, ia menekankan bahwa kunci keberhasilannya terletak pada transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Tanpa itu, intervensi negara justru berisiko menimbulkan inefisiensi, korupsi, atau distorsi pasar.

Baca juga: Siapa Orang Tua Timothy Anugerah Saputra? Mengungkap Sosok di Balik Tragedi Mahasiswa Udayana yang Jadi Korban Perundungan, Benarkah Bukan Orang Sembarangan?

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya