Surat Cinta Kuya Soal Penjarahan Rumah Uya Kuya Jadi Sorotan, Netizen Kritik Bahasa Indonesia-nya — Ini Kata Pakar & Fakta Sebenarnya

Cinta kuya-Instagram-
Surat Cinta Kuya Soal Penjarahan Rumah Uya Kuya Jadi Sorotan, Netizen Kritik Bahasa Indonesia-nya — Ini Kata Pakar & Fakta Sebenarnya
Dunia maya kembali dihebohkan oleh nama Cinta Kuya, putri sulung dari pasangan selebritas Uya Kuya dan Astrid Khairunnisha. Bukan karena penampilannya di layar kaca atau konten TikTok-nya yang viral, melainkan karena sebuah surat pribadi yang ia unggah di akun Instagram pribadinya, @cintakuya, pada pertengahan September 2025.
Surat tersebut ditulis Cinta sebagai bentuk ekspresi emosional atas peristiwa penjarahan yang menimpa rumah orang tuanya di kawasan elite Jakarta Selatan. Namun, alih-alih mendapat simpati luas, surat itu justru memicu gelombang kritik pedas dari netizen — terutama terkait penggunaan bahasa Indonesia yang dinilai “kacau”, “tidak baku”, bahkan “sulit dipahami”.
Surat Penuh Emosi, Tapi Bahasa Jadi Sorotan
Dalam surat berisi tujuh paragraf pendek itu, Cinta mencoba menuangkan perasaannya — rasa sedih, marah, kecewa, dan trauma — setelah rumah keluarganya dibobol dan dijarah oleh sekelompok orang tak dikenal. Ia menulis dengan jujur, tanpa filter, seolah sedang berbicara langsung kepada publik.
Namun, di balik kejujuran emosionalnya, banyak netizen yang justru fokus pada struktur kalimat, ejaan, dan pilihan katanya. Kata-kata seperti “menelephone” (seharusnya “menelepon”), “beleum” (seharusnya “belum”), serta struktur kalimat yang terasa “campur aduk” antara bahasa Indonesia dan Inggris, menjadi bahan kritik utama.
Salah satu tangkapan layar surat Cinta yang beredar luas di Twitter, diunggah oleh akun @sereinads pada 15 September 2025, disertai komentar singkat: “Remed.” — istilah slang yang berarti “perlu perbaikan mendesak”.
Netizen Bereaksi: Dari Sindiran Sampai Analisis Sosiolinguistik
Reaksi netizen pun beragam. Ada yang menyindir, ada yang mencoba memahami, bahkan ada yang membela. Cuitan dari akun @softcaka pada 16 September 2025 menjadi viral dengan lebih dari 3,4 juta tayangan. Ia menulis:
“Tunggu, aku belum selesai dengan semua drama Cinta Kuya ini. Awalnya kupikir dia tidak bisa berbahasa Indonesia karena terlalu lama tinggal di Amerika. Tapi ini bahasa Inggrisnya? Dan fakta bahwa dia terdaftar sebagai mahasiswa USC benar-benar membuatku bingung — seperti apa sih standar pendidikannya?”
Cuitan itu memantik diskusi panjang. Beberapa netizen mulai mengaitkan latar belakang Cinta — yang memang besar dan bersekolah di Amerika Serikat — dengan kemampuan linguistiknya.
Akun @jangjungco mencoba memberi perspektif:
“Ini serius, ya? Mungkin karena dia bilingual, jadi dalam kesehariannya campur sari terus. Akibatnya, baik bahasa Inggris maupun Indonesianya, grammarnya jadi kurang presisi.”
Sementara akun @eunikero menyoroti aspek sosial:
“Kenapa Cinta Kuya dikritik habis-habisan soal grammar? Karena dia punya privilege! Ketika kamu punya privilege seperti dia — kuliah di luar negeri, hidup di lingkungan elite — publik berharap standarmu setara dengan Cinta Laura atau Rachel Vennya, yang juga bilingual tapi sangat fasih dalam dua bahasa.”
Fakta atau Prasangka? Pakar Bahasa Angkat Bicara
Menanggapi polemik ini, Dr. Lestari Wijaya, pakar sosiolinguistik dari Universitas Indonesia, memberikan pandangan yang lebih objektif.
“Fenomena seperti ini sebenarnya sangat umum terjadi pada bilingual muda yang tumbuh dalam dua budaya sekaligus,” ujarnya dalam wawancara eksklusif.
“Otak mereka secara alami mencampur kosakata dan struktur kalimat dari dua bahasa. Ini bukan tanda ‘bodoh’ atau ‘tidak terdidik’, tapi proses alami yang disebut code-switching atau code-mixing. Yang jadi masalah adalah ketika publik menilai kemampuan bahasa seseorang hanya dari satu tulisan emosional — padahal itu bukan karya akademik atau jurnalistik.”
Dr. Lestari juga menekankan bahwa menulis surat pribadi saat sedang emosional — apalagi setelah mengalami trauma seperti penjarahan — bukanlah konteks yang tepat untuk dinilai secara gramatikal.
“Kita harus membedakan antara tulisan pribadi dan tulisan publik. Ini surat hati, bukan esai sastra. Menilainya dengan kacamata tata bahasa formal itu tidak adil,” tambahnya.
Bukan Hanya Cinta Kuya: Fenomena Global yang Sering Diabaikan
Menariknya, banyak netizen yang mulai menyadari bahwa “grammar kacau” bukanlah masalah eksklusif Cinta Kuya. Akun @cagneymarch menulis:
“Keliatan banget ini belajar otodidak. Semua orang yang belajar bahasa secara otodidak pasti pernah ngomong atau nulis kayak gini dulu. Permasalahannya, dia kuliah di luar negeri dengan bahasa Inggris yang otodidak, dan sepertinya baru belajar serius dua tahun terakhir.”