Lansia Diculik Malam-Malam, Dipaksa Tanda Tangan Surat dan Diberi Rp240 Juta: Saya Nggak Bisa Baca! – Kasus Mengejutkan di Kebumen

Khanifudin-Instagram-
Lansia Diculik Malam-Malam, Dipaksa Tanda Tangan Surat dan Diberi Rp240 Juta: Saya Nggak Bisa Baca! – Kasus Mengejutkan di Kebumen
Sebuah kasus yang menggemparkan masyarakat Kebumen kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, korban bukan pejabat atau pengusaha, melainkan seorang lansia berusia lanjut yang hidup sederhana — Sutaja Mansur (78), warga Desa Karanganyar, Kecamatan Kebumen. Ia mengaku menjadi korban penculikan oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Kebumen, Kaum Sumani, yang diduga memanfaatkan kelemahan fisik dan literasi sang korban untuk kepentingan pribadi.
Penculikan di Tengah Malam: Sebuah Aksi yang Tak Terduga
Kejadian mengerikan itu bermula pada dini hari, sekitar pukul 00.30 WIB, Kamis, 11 September 2025. Saat itu, Sutaja sedang tertidur lelap di rumahnya yang sederhana. Tiba-tiba, pintu rumahnya dibobol oleh belasan orang tak dikenal. Mereka datang dengan mobil gelap, tanpa plat nomor, dan langsung membawanya keluar paksa tanpa memberi waktu untuk berpakaian lengkap.
“Saya dikagetin, dipaksa naik mobil. Saya nggak tahu siapa mereka. Yang jelas, ada yang bilang, ‘Bapak ikut, jangan ribut.’ Saya kan tua, nggak kuat lawan,” ujar Sutaja dalam wawancara eksklusif bersama tim media di Kantor Bantuan Hukum Kebumen, Senin (15/9/2025).
Setelah dibawa selama lebih dari satu jam, Sutaja dibawa ke sebuah rumah kosong di wilayah pinggiran Kebumen. Di dalam ruangan gelap, ia bertemu dengan seorang pria berpakaian rapi yang kemudian diidentifikasi sebagai Kaum Sumani, anggota DPRD Kebumen dari Fraksi Partai Golkar.
Dipaksa Tanda Tangan Surat Tanpa Tahu Isinya
Kaum Sumani, menurut Sutaja, langsung menyodorkan selembar dokumen tebal berwarna kuning dengan cap segel resmi. “Dia suruh saya tanda tangan. Saya tanya, ‘Ini apa isi-nya?’ Dia jawab, ‘Nanti Bapak tahu, yang penting tanda tangan.’ Saya bilang, ‘Saya nggak bisa baca, Pak.’ Tapi dia tetep ngotot.”
Sutaja, yang hanya tamat SD dan tidak pernah belajar membaca tulisan formal sejak puluhan tahun lalu, terpaksa menandatangani dokumen itu karena tekanan psikologis yang sangat kuat. Belasan orang lainnya berdiri mengelilingi, menatap tajam, dan bahkan ada yang mengancam akan “mengambil alih tanah miliknya” jika ia menolak.
“Saya cuma bisa nangis diam-diam. Saya pikir, kalau saya tolak, nanti rumah saya diambil. Saya punya anak-anak, mau saya tinggalin mereka bagaimana?” ungkap Sutaja dengan suara gemetar.
Setelah tanda tangan diberikan, Kaum Sumani langsung menyerahkan sebuah plastik besar berisi uang tunai. Uang tersebut, menurut Sutaja, diperkirakan senilai Rp240 juta, terdiri dari lembaran seratus ribu dan lima puluh ribu, semua dalam kondisi baru dan masih terbungkus rapi.
“Uangnya banyak banget. Saya nggak pernah lihat uang sebanyak itu dalam hidup saya. Tapi saya nggak mau ambil. Saya bilang, ‘Saya nggak butuh uang ini. Saya nggak tahu ini untuk apa.’ Tapi mereka paksa masukin ke tas saya. Katanya, ‘Ini hadiah, Bapak.’”
“Saya Nggak Bisa Baca” — Kalimat yang Menggugah Nurani
Kata-kata Sutaja, “Saya nggak bisa baca,” menjadi simbol tragis dari ketidakadilan sistemik yang masih terjadi di tengah masyarakat. Di era digital dan transparansi informasi seperti sekarang, masih ada warga negara yang hidup dalam buta hukum dan buta aksara — dan justru menjadi sasaran empuk eksploitasi oleh pihak berkuasa.
Fakta bahwa seorang anggota legislatif — yang seharusnya menjadi pelindung rakyat — justru memanfaatkan ketidaktahuan seorang lansia untuk memperoleh tanda tangan palsu, adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang sangat serius. Surat yang ditandatangani Sutaja, menurut sumber hukum yang dekat dengan kasus ini, diduga berisi dokumen pelepasan hak atas tanah, izin proyek infrastruktur, atau bahkan surat pernyataan tidak bersalah terkait kasus korupsi yang sedang diselidiki.
“Ini bukan sekadar pemalsuan tanda tangan. Ini adalah kejahatan terhadap manusia yang paling rentan — lansia buta huruf yang tidak memiliki akses hukum,” kata Advokat Rizky Asin, yang langsung mendampingi Sutaja sejak pagi harinya.
Laporan Resmi Dibuat Keesokan Harinya
Tak bisa tidur semalaman, Sutaja bangun subuh dan langsung menghubungi Advokat Rizky Asin, salah satu pengacara aktivis hukum di Kebumen yang dikenal sering membela kaum marjinal.
“Pak Sutaja menangis saat menelepon saya. Ia bilang, ‘Pak, saya diculik malam tadi. Saya dipaksa tanda tangan, dikasih uang banyak, tapi saya nggak tahu apa artinya.’ Saya langsung turun ke rumahnya,” kenang Rizky.
Bersama putra Sutaja dan dua saksi tetangga, Rizky membawa korban ke Kantor Hakim Pengadilan Negeri Kebumen untuk membuat laporan resmi. Dokumen laporan telah ditandatangani dan dilengkapi dengan rekaman suara, foto uang, serta catatan medis yang menunjukkan adanya trauma psikologis akibat kejadian tersebut.
Fakta Baru: Kaum Sumani Sudah Dikenal Sebagai “Penyewa Lansia”
Investigasi awal tim media dan LSM Hukum Kebumen menemukan fakta mengejutkan: Kaum Sumani bukan kali pertama melakukan praktik serupa. Setidaknya ada tiga kasus serupa dalam dua tahun terakhir yang melibatkan lansia di desa-desa sekitar Kebumen Selatan. Semua korban adalah warga tua yang buta huruf, hidup sendirian, dan memiliki tanah strategis dekat jalur pembangunan.
Dalam satu kasus tahun 2023, seorang nenek berusia 82 tahun juga dipaksa menandatangani surat pelepasan hak tanah, lalu diberi uang Rp180 juta. Namun, kasus itu tidak pernah ditindaklanjuti karena korban tak punya keluarga yang peduli.
“Ini pola sistematis. Mereka cari orang tua yang lemah, tidak punya pendamping, lalu gunakan uang sebagai ‘penyelesaian’ agar korban diam,” ujar Yuniarti, koordinator LSM “Hak Hukum untuk Lansia”.
Tanggapan Resmi DPRD Kebumen: “Kami Sedang Investigasi”
Ketika dimintai tanggapan, Sekretaris DPRD Kebumen, Ahmad Fauzi, mengaku belum menerima laporan resmi dari polisi. Namun ia menegaskan bahwa fraksi mana pun yang terlibat akan dikenai sanksi tegas.
“Jika benar ada anggota kami yang terlibat, maka ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi tindak pidana. Kami akan bekerja sama penuh dengan kepolisian dan Komisi III DPRD untuk memastikan keadilan,” ujar Fauzi.
Namun, publik masih skeptis. Banyak yang mempertanyakan: Mengapa baru terungkap setelah korban melapor? Apakah ini hanya kebetulan, atau justru ada upaya menutupi?
Analisis Hukum: Apa yang Salah dari Kasus Ini?
Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Dr. Arif Budianto, S.H., M.H., kasus ini mengandung beberapa unsur tindak pidana:
Penculikan (Pasal 333 KUHP) — pemindahan paksa orang dari tempatnya tanpa hak.
Pemaksaan Penandatanganan Dokumen (Pasal 263 KUHP) — memaksa seseorang menandatangani dokumen yang tidak diketahui isinya.
Penyuapan (Pasal 12B UU Tipikor) — pemberian uang sebagai imbalan atas tindakan ilegal.
Pemanfaatan Kerentanan (UU Perlindungan Lansia No. 13/2021) — memanfaatkan kelemahan fisik dan mental lansia.
“Ini bukan soal ‘salah paham’. Ini adalah kejahatan terorganisasi. Dan yang paling parah, pelakunya adalah orang yang seharusnya menjaga hukum,” tegas Dr. Arif.