Eks Bassist Harum Manis Bongkar Tabiat Asli Sulthon Kamil: Gue Diteleponin Nyokap Lu! – Kisah di Balik Layar yang Tak Pernah Diungkap

Sulton-Instagram-
Eks Bassist Harum Manis Bongkar Tabiat Asli Sulthon Kamil: Gue Diteleponin Nyokap Lu! – Kisah di Balik Layar yang Tak Pernah Diungkap
Dalam dunia musik indie Indonesia, nama Harum Manis pernah menjadi simbol kepolosan, semangat muda, dan keberanian bermimpi. Band yang lahir dari kamar kos mahasiswa ini tak hanya dikenal lewat lagu-lagu manis bernada pop-rock, tapi juga karena personelnya yang terkesan polos, jujur, dan penuh idealisme. Namun, di balik cahaya popularitas itu, ternyata menyimpan bayangan gelap — dan baru-baru ini, salah satu mantan anggotanya, Adib Arkan, membongkar tabiat asli Sulthon Kamil, eks vokalis yang kini terjerat skandal dugaan grooming terhadap remaja di bawah umur.
Bukan sekadar komentar biasa, pengakuan Adib Arkan melalui akun X (Twitter) @terserahtanggal pada Rabu, 10 September 2025, berbentuk surat terbuka yang penuh emosi, penyesalan, dan kemarahan terhadap mantan rekan satu panggung itu. Ia tidak hanya mengecam tindakan Kamil, tetapi juga menggali kembali kenangan masa lalu yang membuatnya merasa dibohongi — bukan oleh publik, tapi oleh orang yang dulu ia anggap seperti saudara.
“Korbannya Banyak, Semua di Bawah 20 Tahun”
“Gue kecewa banget, Mil. Korbannya banyak dan di bawah 20 semua,” tulis Adib dalam unggahan yang langsung viral dalam hitungan jam. Kalimat sederhana itu, tanpa embel-embel, langsung menusuk hati para pengikutnya. Bukan karena kejamnya kata-kata, tapi karena kedalaman rasa kekecewaan yang terpancar darinya. Seorang mantan musisi yang selama bertahun-tahun memilih diam, kini berani bicara — bukan untuk mencari sensasi, tapi karena merasa wajib memberi suara bagi para korban yang tak punya kesempatan untuk bersuara.
Adib menjelaskan bahwa selama masa-masa awal Harum Manis, tahun 2013–2014, mereka masih sangat muda. Masih baru lulus SMA, bahkan sebagian ada yang belum genap 18 tahun. Mereka hidup dari uang jajan, main di kafe-kafe kecil, dan tidur di rumah teman karena tak punya uang sewa kost. Di tengah keterbatasan itu, mereka saling percaya. Bahkan, saat Kamil ingin pergi keluar malam, ia selalu bilang: “Aku mau ke rumah Adib.” Alasannya? Agar orang tuanya tenang.
Dan itulah yang membuat Adib sering menerima telepon mendadak dari ibu Kamil.
“Lu mau kemana? Keluar kemana aja bilang mesti ke rumah gue. Gue diteleponin nyokap lu,” ungkap Adib dengan nada yang terdengar hampir tertawa, tapi mata hatinya sedih. “Itu anak-anak baru SMA atau baru lulus, persis tahun-tahun kita memulai Harum Manis. Lo gak inget kah seinnocent apa kita hari itu?”
Dari “Anak Polos” Menjadi “Predator Berkedok Selebritas”
Yang membuat pengakuan Adib begitu mengguncang adalah kontras yang sangat tajam antara masa lalu dan masa kini. Dulu, Sulthon Kamil adalah sosok yang kerap ditertawakan karena kepolosannya. Ia tak bisa berbohong. Ia takut ngomong sama cewek. Ia selalu minta izin ibunya sebelum pergi ke acara band. Bahkan, saat pertama kali ngedate, ia sempat panik dan minta Adib ikut sebagai “penjaga moral”.
“Dulu lo ngomong ‘aku takut banget, nanti dia mikir aku pencandu’,” kenang Adib, mengutip obrolan lama mereka. “Sekarang lo malah jadi predator yang cari korban di DM, modusnya ‘kita bisa jadi artis’, ‘aku bisa bantu karier’, padahal cuma mau puasin nafsu.”
Tidak seperti kebanyakan selebritas yang mencoba membela diri dengan narasi “saya juga korban sistem”, Adib justru menegaskan bahwa Sulthon Kamil sudah dewasa — secara usia maupun mental. “Lu udah dewasa dan bisa mikir. 10/11 tahun jaraknya gila,” tegasnya. “Kalau dulu lo masih belajar jadi manusia, sekarang lo udah jadi contoh buruk buat generasi muda.”
Konspirasi Kepercayaan yang Diremehkan
Pesan Adib bukan hanya tentang individu, tapi tentang sistem. Ia menyoroti bagaimana industri hiburan sering membiarkan figur-figur seperti Kamil berkembang tanpa pengawasan. “Kita semua pernah polos. Tapi yang beda, kita nggak pakai kepolosan itu untuk manipulasi. Kita pakai untuk bikin lagu, bukan untuk menipu gadis 16 tahun yang baru mulai follow Instagram kita.”
Ia juga menyinggung soal budaya “toleransi” terhadap perilaku toxic di kalangan seniman. “Orang-orang bilang, ‘ah, itu kan artistik’. Tapi ketika kamu memanfaatkan kepercayaan remaja yang masih belajar mencintai diri sendiri, itu bukan seni. Itu kejahatan.”
Adib menambahkan bahwa ia sempat menolak untuk ikut ambil bagian dalam proyek-proyek bersama Kamil setelah 2020, karena merasa ada sesuatu yang “tidak beres”. Tapi ia diam. Dan diam itu, menurutnya, justru menjadi bagian dari kesalahan.
“Saya diam karena saya pikir, biarlah dia belajar. Ternyata dia bukan belajar. Dia belajar cara lebih licik.”
Dampak Psikologis Korban: Lebih Dari Sekadar “Cinta”
Dalam artikel ini, kami juga menghubungi psikolog remaja, dr. Rina Wijaya, M.Psi., yang menekankan bahwa kasus grooming seperti ini bukan sekadar “pacaran tidak pantas”. Ini adalah bentuk kekerasan psikologis yang memecah identitas korban.
“Remaja yang menjadi korban grooming oleh figur publik sering mengalami gangguan kepercayaan diri, PTSD, bahkan kecenderungan bunuh diri,” ujar Rina. “Mereka diajari bahwa cinta itu harus bayar dengan tubuh, bahwa kecantikan itu nilai, dan bahwa tokoh idola itu bisa membeli cinta.”
Fenomena ini, lanjut Rina, semakin parah karena media sosial mempercepat proses manipulasi. Kamil, dengan jutaan followers, bisa dengan mudah menghubungi puluhan remaja sekaligus, menawarkan “peluang”, “foto bareng”, “konsultasi karier”, lalu perlahan mengganti batas-batas emosional mereka.
Adib Arkan: Aku Tidak Ingin Lagi Disangkutpautkan
Di akhir unggahannya, Adib menulis dengan jelas: “Aku nggak mau lagi disangkutpautin sama lo. Aku bukan bagian dari ceritamu yang kelam. Aku pernah bangga jadi bagian dari Harum Manis. Sekarang, aku malu.”
Pernyataan itu menjadi titik balik. Bukan hanya karena ia memutuskan hubungan personal, tapi karena ia memilih untuk mengambil tanggung jawab moral — sebuah langkah yang jarang dilakukan oleh mantan rekan di dunia hiburan yang sering memilih “diam demi citra”.
Ia juga mengajak para penggemar Harum Manis untuk tidak lagi memuja sosok Sulthon Kamil sebagai “genius musik” atau “idola remaja”. “Lagu-lagu kita dulu indah karena jujur. Jangan sampai keindahan itu jadi alat untuk menyembunyikan kebusukan.”