Mengapa Saham Gudang Garam Anjlok 89%? Benarkah Perusahaan Rokok Legendaris Ini Bangkrut dan PHK Massal?

rokok-pixabay-
Mengapa Saham Gudang Garam Anjlok 89%? Benarkah Perusahaan Rokok Legendaris Ini Bangkrut dan PHK Massal?
Bayangkan sebuah perusahaan yang dulu menjadi raja pasar saham, dijuluki “mesin uang” oleh para investor, kini harganya merosot hingga 89%. Itulah yang terjadi pada PT Gudang Garam Tbk (GGRM), salah satu pilar industri rokok kretek Indonesia yang telah berdiri sejak 1958. Dari harga puncak hampir Rp90.000 per saham di tahun 2019, kini hanya tersisa di level Rp9.100 per lembar pada penutupan perdagangan 20 Juni 2025. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini awal dari kebangkrutan? Ataukah sekadar fase sulit yang masih bisa dipulihkan?
Mari kita telusuri lebih dalam — karena di balik angka-angka yang mengkhawatirkan ini, ada kisah kompleks tentang perubahan zaman, tekanan regulasi, dan pergeseran perilaku konsumen yang mengubah wajah industri rokok nasional.
Dari Puncak Kejayaan Menuju Jurang Keterpurukan
Gudang Garam bukanlah perusahaan biasa. Didirikan oleh Surya Wonowidjojo, perusahaan ini tumbuh menjadi raksasa industri kretek dengan merek-merek legendaris seperti Surya, GG Mild, dan Merah Putih. Integrasi vertikalnya — dari kebun tembakau hingga pabrik pengolahan — membuatnya sangat efisien dan tangguh selama puluhan tahun.
Namun, dalam lima tahun terakhir, fondasi bisnisnya mulai retak. Saham GGRM yang dulu menjadi andalan portofolio “blue chip” kini justru menjadi momok bagi ribuan investor ritel dan institusional. Penurunan 89% bukanlah angka biasa — ini adalah sinyal alarm merah yang tidak bisa diabaikan.
Laporan Keuangan Mengkhawatirkan: Laba Anjlok 81%, Pendapatan Turun 17%
Data keuangan tahun 2024 menjadi cerminan nyata dari krisis yang sedang dihadapi Gudang Garam. Laba bersih perusahaan merosot drastis dari Rp5,32 triliun (2023) menjadi hanya Rp980,8 miliar — turun sekitar 81%! Pendapatan juga menyusut dari Rp118,95 triliun menjadi Rp98,65 triliun, atau turun 17%.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh lesunya penjualan dua produk utama: Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). SKM masih menjadi penyumbang terbesar dengan pendapatan Rp86,62 triliun, sementara SKT hanya menyumbang Rp9,36 triliun. Sisanya berasal dari bisnis pendukung seperti konstruksi dan kertas karton — yang kontribusinya masih sangat kecil.
Yang lebih mengkhawatirkan, biaya pokok penjualan (BPP) tetap tinggi di angka Rp89,27 triliun. Artinya, margin keuntungan perusahaan semakin tipis — bahkan nyaris tak ada ruang bernapas.
Penyebab Utama: Bukan Hanya Masalah Internal, Tapi Gelombang Perubahan Global
Lalu, apa yang menyebabkan kemerosotan ini? Jawabannya bukan hanya satu faktor, melainkan kombinasi dari tekanan eksternal dan internal yang saling memperkuat.
1. Revolusi Gaya Hidup: Generasi Muda Tinggalkan Rokok Konvensional
Tren hidup sehat bukan lagi sekadar slogan — ia telah menjadi gerakan global. Di Indonesia, generasi Z dan milenial semakin sadar akan risiko kesehatan akibat merokok. Survei terbaru menunjukkan bahwa konsumsi rokok di kalangan usia 15-24 tahun turun hingga 30% dalam lima tahun terakhir.
Banyak dari mereka beralih ke rokok elektrik (vape) atau produk tembakau alternatif lainnya. Sayangnya, Gudang Garam belum mampu menangkap tren ini dengan cepat. Mereka masih sangat bergantung pada produk konvensional — yang justru pasar utamanya sedang menyusut.
2. Cukai Rokok Naik Tiap Tahun: Harga Jual Membumbung, Konsumen Kabur
Pemerintah Indonesia secara konsisten menaikkan tarif cukai rokok setiap tahun — dengan alasan kesehatan publik dan peningkatan penerimaan negara. Namun, dampaknya bagi produsen seperti Gudang Garam sangat berat.
Kenaikan cukai langsung memukul struktur biaya. Untuk menjaga margin, perusahaan terpaksa menaikkan harga jual — yang justru membuat konsumen beralih ke merek yang lebih murah, atau bahkan produk ilegal. Ini menciptakan lingkaran setan: harga naik → penjualan turun → laba anjlok → saham terjun bebas.
3. Stok Tembakau Menumpuk: Cukup untuk 4 Tahun Produksi!
Fakta mengejutkan lainnya: Gudang Garam saat ini memiliki stok tembakau mentah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi selama empat tahun ke depan. Ini berarti mereka tidak perlu membeli tembakau baru dalam waktu dekat — dan dampaknya sudah terasa di daerah-daerah sentra tembakau seperti Temanggung, Jawa Tengah.
Petani tembakau di sana kini mengeluh karena Gudang Garam menghentikan pembelian. Ini bukan hanya masalah bisnis, tapi juga masalah sosial — ribuan petani kehilangan mata pencaharian. Dan ini hanyalah puncak gunung es dari krisis rantai pasok yang lebih besar.
Dampak Luas: Investor Panik, Petani Menjerit, Industri Berguncang
Penurunan saham GGRM bukan hanya soal angka di pasar modal. Dampaknya menjalar ke seluruh ekosistem.
Investor ritel yang dulu menganggap GGRM sebagai “saham tidur yang pasti untung” kini mengalami kerugian besar — bahkan ada yang kehilangan 90% nilai investasinya.
Investor institusional, termasuk dana pensiun dan reksa dana, mulai mengurangi porsi kepemilikan GGRM karena risiko yang terlalu tinggi.
Petani tembakau di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami penurunan drastis permintaan, membuat harga jual tembakau anjlok dan penghasilan mereka merosot.
Industri pendukung — mulai dari logistik, percetakan bungkus rokok, hingga distributor — juga merasakan imbasnya. PHK mulai terjadi di beberapa sektor pendukung, meski Gudang Garam sendiri belum mengumumkan PHK massal secara resmi.
Apakah Gudang Garam Akan Bangkrut?
Pertanyaan ini sering muncul di forum investor dan media sosial. Jawabannya: belum. Secara teknis, Gudang Garam masih memiliki aset besar, arus kas positif (meski tipis), dan tidak memiliki utang jangka pendek yang mengkhawatirkan. Mereka belum bangkrut — tapi sedang dalam fase kritis yang membutuhkan transformasi besar-besaran.
Analoginya: Gudang Garam seperti kapal besar yang sedang terjebak badai. Kapalnya masih utuh, mesinnya masih menyala — tapi jika tidak segera mengubah haluan, bisa terhempas ke karang.