Siapa Subhan? Sosok yang Gugat Wapres Gibran Rakabuming Senilai Rp125 Triliun Karena Kontroversi Ijazah SMA dan Tantangan Hukum di Tengah Dinamika Politik Nasional

Siapa Subhan? Sosok yang Gugat Wapres Gibran Rakabuming Senilai Rp125 Triliun Karena Kontroversi Ijazah SMA dan Tantangan Hukum di Tengah Dinamika Politik Nasional

Gibran-Instagram-

Siapa Subhan? Sosok yang Gugat Wapres Gibran Rakabuming Senilai Rp125 Triliun Karena Kontroversi Ijazah SMA dan Tantangan Hukum di Tengah Dinamika Politik Nasional

Nama Subhan, seorang warga sipil biasa, tiba-tiba mencuat ke permukaan panggung politik nasional setelah mengajukan gugatan perdata yang mengejutkan terhadap Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) ini bukan hanya menarik perhatian publik, tetapi juga memicu perdebatan luas di kalangan hukum, politik, dan masyarakat umum.



Apa yang membuat gugatan ini begitu fenomenal? Bukan sekadar nominal ganti rugi yang fantastis—sebesar Rp125 triliun lebih—tetapi juga akar persoalannya yang menyentuh isu krusial: keaslian dan legalitas ijazah pendidikan calon pejabat negara, khususnya dalam konteks pencalonan sebagai Wakil Presiden.

Latar Belakang Gugatan: Ijazah SMA yang Dipertanyakan
Subhan, yang diketahui merupakan warga negara Indonesia yang peduli terhadap transparansi dan integritas dalam proses demokrasi, mengajukan gugatan dengan dalih bahwa Gibran Rakabuming tidak memenuhi syarat administratif sebagai calon wakil presiden karena diduga tidak pernah menempuh pendidikan formal tingkat SMA atau sederajat yang sah menurut hukum Indonesia.

Dalam petitum gugatannya, Subhan menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu syarat mutlak dalam pencalonan presiden dan wakil presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Menurutnya, jika seseorang tidak memiliki ijazah yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan yang diakui negara, maka keabsahan pencalonannya patut dipertanyakan.


“Ini bukan soal pribadi, tapi soal prinsip,” ujar Subhan dalam keterangan tertulis yang beredar luas di media sosial. “Kalau aturan tidak ditegakkan untuk semua, maka demokrasi kita hanya menjadi tontonan, bukan substansi.”

Gugatan Dua Arah: PN Jakpus dan KPU
Tidak puas hanya menempuh jalur pengadilan negeri, Subhan juga melayangkan pengaduan resmi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menilai bahwa KPU, sebagai penyelenggara pemilu, seharusnya melakukan verifikasi ketat terhadap dokumen kependidikan para calon, termasuk ijazah SMA Gibran.

Menurut Subhan, baik Gibran maupun KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) karena membiarkan proses pencalonan berjalan tanpa memastikan kelengkapan dan keabsahan dokumen secara menyeluruh. Ia menilai, hal ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi Indonesia.

Petitum yang Menohok: Rp125 Triliun dan Konsekuensi Hukum
Gugatan Subhan mencakup tujuh poin petitum yang cukup ekstrem, terutama dari sisi nominal ganti rugi. Berikut adalah rincian tuntutannya:

Mengabulkan gugatan secara penuh.
Subhan meminta majelis hakim mengabulkan seluruh tuntutannya tanpa pengecualian.
Menyatakan perbuatan melawan hukum.
Gibran (Tergugat I) dan KPU (Tergugat II) dituding secara bersama-sama melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Pembatalan status Wakil Presiden.
Subhan meminta agar Gibran dinyatakan tidak sah menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2024–2029.
Ganti rugi materiil dan immateriil senilai Rp125.000.010.000.000.
Angka yang mencengangkan ini mencerminkan kerugian yang dialami bukan hanya oleh Subhan, tetapi juga oleh seluruh warga negara Indonesia akibat pelanggaran prosedur konstitusional. Dana tersebut diminta untuk disetorkan ke kas negara.
Putusan bersifat sementara (uitvoerbaar bij voorraad).
Subhan meminta agar putusan dapat langsung dieksekusi meskipun pihak tergugat mengajukan upaya hukum seperti banding atau kasasi.
Denda harian (dwangsom) Rp100 juta per hari.
Jika putusan tidak dilaksanakan tepat waktu, para tergugat harus membayar denda sebesar seratus juta rupiah per hari hingga putusan dipenuhi.
Pembayaran seluruh biaya perkara.
Semua ongkos proses hukum, termasuk redaksi, administrasi, dan lain-lain, dituntut agar ditanggung oleh para tergugat secara tanggung renteng.
Respons Publik: Dukungan dan Kritik Mengalir
Gugatan ini langsung menjadi viral di media sosial. Banyak netizen yang terbelah dalam menanggapinya. Sebagian memuji Subhan sebagai "pahlawan demokrasi" yang berani menantang kekuasaan, sementara yang lain menilai gugatan ini terlalu berlebihan, terutama dari sisi nilai ganti rugi yang hampir mustahil dibayar oleh individu mana pun.

Namun, tak sedikit juga yang melihat ini sebagai alarm penting bagi penyelenggara pemilu untuk lebih ketat dalam memverifikasi berkas calon. “Ini bukan soal Gibran, tapi soal sistem. Kalau kita membiarkan satu pelanggaran kecil, kita membuka pintu bagi ribuan pelanggaran di masa depan,” tulis seorang akademisi hukum tata negara dari Universitas Indonesia dalam akun Twitter-nya.

Perspektif Hukum: Apakah Gugatan Ini Berpeluang Menang?
Pakar hukum pidana dan tata negara, Dr. Rizal Panggabean, SH, MH, menilai bahwa gugatan perdata seperti ini memang jarang terjadi, terutama terhadap pejabat negara yang telah dilantik. Namun, ia mengakui bahwa substansi gugatan bisa menjadi penting jika ada bukti kuat bahwa ijazah yang digunakan tidak sah atau diperoleh secara tidak prosedural.

“Secara hukum, jika seseorang terbukti memberikan dokumen palsu dalam pencalonan, maka jabatannya bisa dibatalkan. Tapi itu harus melalui proses hukum yang panjang, termasuk audit forensik terhadap dokumen yang bersangkutan,” jelas Rizal.

Ia juga menekankan bahwa gugatan perdata terhadap pejabat negara biasanya sulit diterima kecuali ada kerugian pribadi yang konkret. “Tapi di sini, Subhan memperluas kerugian ke level kolektif—seluruh warga negara. Ini menarik, meskipun belum pernah ada preseden serupa di Indonesia.”

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya