Profil Tampang Tjokorda Niti Yadny Putri Panglingsir Puri Agung Ubud yang Meninggal Dunia, Lengkap dari Umur, Agama dan Akun Instagram

Profil Tampang Tjokorda Niti Yadny Putri Panglingsir Puri Agung Ubud yang Meninggal Dunia, Lengkap dari Umur, Agama dan Akun Instagram

Cokorda-Instagram-

Profil Tampang Tjokorda Niti Yadny Putri Panglingsir Puri Agung Ubud yang Meninggal Dunia, Lengkap dari Umur, Agama dan Akun Instagram
Puri Agung Ubud Gelar Upacara Palebon Ageng untuk Almarhum Tjokorda Niti Yadnya: Simfoni Spiritual yang Menyentuh Hati Masyarakat Ubud

Suasana haru menyelimuti Puri Agung Ubud, Gianyar, dalam beberapa pekan terakhir. Keluarga kerajaan ini tengah mempersiapkan upacara kematian besar atau Palebon Ageng untuk menghormati almarhum Tjokorda Niti Yadnya, salah seorang putri Panglingsir Puri Agung Ubud, Tjokorda Agung Suyasa. Upacara sakral ini akan digelar pada hari Buda Pon Watugunung, Rabu (3 September 2025), di Setra Dalem Puri, Desa Peliatan, Ubud—tempat yang sarat makna spiritual dan sejarah bagi masyarakat setempat.



Almarhum Tjokorda Niti Yadnya, yang akrab disapa Cok Niti, meninggal dunia pada 7 Juli 2025, setelah menjalani perjuangan panjang melawan kanker serviks yang dideritanya sejak dua tahun sebelumnya. Perempuan yang dikenal lembut namun tegas ini sempat menjalani pengobatan intensif, baik di rumah sakit ternama di Bali maupun di Malaysia. Beberapa kali bolak-balik ke luar negeri, harapan sempat muncul saat kondisinya membaik. Namun, nasib berkata lain. Sembilan hari setelah menjalani terapi terakhir di Kuala Lumpur, sang putri Puri berpulang dengan damai, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, kerabat, dan masyarakat Ubud yang mengenalnya.

Perjuangan Panjang dan Ketabahan Hati
Cokorda Ngurah Suyadnya, yang akrab dipanggil Cok Wah—adik kandung almarhum—mengenang perjuangan kakaknya sebagai perjalanan yang penuh ketabahan. “Beliau sempat pulih, bahkan sempat kembali aktif menjalani kehidupan sehari-hari. Kami semua berharap sembuh total. Tapi, penyakitnya kambuh lagi. Dan pada 7 Juli lalu, beliau pergi untuk selamanya,” ujar Cok Wah dengan suara bergetar, mengenang sosok kakak yang sangat dihormatinya.

Bagi keluarga kerajaan, kepergian Cok Niti bukan hanya kehilangan seorang anggota keluarga, tetapi juga kehilangan figur perempuan tangguh yang selama hidupnya menunjukkan dedikasi tinggi terhadap budaya, masyarakat, dan tradisi. Sebagai putri Puri, ia tidak hanya menjaga harkat dan martabat keluarga kerajaan, tetapi juga turut aktif dalam kancah publik, termasuk dunia politik.


Jejak Politik dan Kontribusi Sosial
Tjokorda Niti Yadnya pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gianyar pada periode 2009–2014, mewakili Fraksi Partai Golkar. Selama satu periode menjabat, ia dikenal sebagai sosok yang rendah hati, peduli terhadap aspirasi rakyat kecil, serta gigih memperjuangkan isu-isu perempuan dan pelestarian budaya Bali.

“Beliau bukan hanya datang dari keluarga bangsawan, tapi juga punya hati untuk rakyat,” kata salah seorang tokoh masyarakat Desa Peliatan. “Ketika turun ke lapangan, beliau tidak membeda-bedakan. Semua warga diperlakukan dengan hormat dan penuh empati.”

Jejaknya di dunia politik mungkin tidak panjang, tapi cukup membekas. Ia menjadi salah satu dari sedikit perempuan bangsawan Bali yang berani tampil di ruang publik dan menyuarakan kepentingan masyarakat secara langsung. Kini, meski telah tiada, semangat pengabdiannya terus dikenang.

Persiapan Palebon Ageng: Simbol Penghormatan Tertinggi
Sebagai bentuk penghormatan terakhir, keluarga Puri Agung Ubud menyiapkan upacara Palebon Ageng yang megah dan sarat makna spiritual. Proses persiapan dimulai sejak awal Agustus 2025, dengan pelaksanaan upacara Nuasen pada 3 Agustus—ritual pembukaan untuk pembuatan Lembu, yakni kerbau raksasa dari anyaman bambu yang menjadi simbol dalam upacara kremasi.

Pembuatan Lembu ungu ini dimulai secara resmi pada 5 Agustus di Puri Langon, Banjar Sambahan, Ubud. Kerbau yang dibuat berwarna ungu, bukan tanpa alasan. Dalam tradisi Bali, warna ungu melambangkan keagungan, kemuliaan, dan status sosial tinggi. Ukurannya pun sangat mengesankan: tinggi 7,60 meter dari dasar hingga ujung tanduk, dan panjang mencapai 4,5 meter. Hanya sekitar 40 sentimeter lebih pendek dari Lembu ungu yang digunakan dalam upacara palebon almarhum Cok Bagus Santaka beberapa tahun lalu.

“Kami melibatkan 15 undagi (tukang tradisional) untuk mengerjakan Lembu ini,” jelas I Wayan Juliarta, yang lebih dikenal sebagai Gading Tattoo, sang maestro pembuat Lembu dari Lingkungan Padangtegal, Ubud. “Target kami selesai pada 31 Agustus, agar bisa dipamerkan di Catus Pata Ubud sebelum prosesi utama. Jadi, kami harus ngebut, tapi tetap menjaga kualitas dan nilai sakralnya.”

Hingga kini, progres pengerjaan Lembu telah mencapai 65 persen. Setiap detail dikerjakan dengan penuh kesabaran dan spiritualitas, karena bagi masyarakat Bali, Lembu bukan sekadar objek ritual, melainkan simbol perjalanan roh menuju Moksha atau pembebasan dari reinkarnasi.

Bade Raksasa 19 Meter: Ikon Keharmonisan Spiritual
Selain Lembu, sebuah Bade atau menara jenazah setinggi 19 meter juga tengah digarap secara intensif. Bade ini dibuat di Desa Tampaksiring, Gianyar, oleh tim undagi pilihan, dan pada malam hari Selasa (26/8), struktur setengah jadi tersebut diangkut dengan truk menuju Puri Agung Ubud. Di jaba (halaman luar) puri, proses finishing akan dilanjutkan, termasuk pemasangan ukiran, hiasan kain, dan ornamen sakral lainnya.

Bade raksasa ini akan menjadi pusat perhatian dalam prosesi palebon. Dalam tradisi Bali, Bade melambangkan tempat tinggal sementara roh sebelum dilepas ke alam baka. Tingginya mencerminkan derajat spiritual dan penghormatan yang diberikan kepada almarhum. Dengan hiasan warna-warni dan diiringi musik baleganjur, Bade akan menjadi simbol keharmonisan antara manusia, keluarga, dan alam semesta.

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya