Tidak Ada Aksi 1 September 2025: Mahasiswa dan CSO Batalkan Unjuk Rasa, Fokus pada Stabilitas Nasional dan Kemanusiaan

Tidak Ada Aksi 1 September 2025: Mahasiswa dan CSO Batalkan Unjuk Rasa, Fokus pada Stabilitas Nasional dan Kemanusiaan

ilustrasi-Annabel_P-

Tidak Ada Aksi 1 September 2025: Mahasiswa dan CSO Batalkan Unjuk Rasa, Fokus pada Stabilitas Nasional dan Kemanusiaan

Rencana aksi unjuk rasa besar-besaran yang sempat ramai diperbincangkan publik untuk digelar pada 1 September 2025 resmi dibatalkan. Sejumlah kelompok mahasiswa, organisasi masyarakat sipil (CSO), dan aliansi aktivis nasional secara bersama-sama mengumumkan penundaan aksi lanjutan, menyusul meningkatnya ketegangan keamanan dan eskalasi kerusuhan yang terjadi dalam gelombang protes sebelumnya.



Keputusan ini diambil setelah melalui rapat darurat yang berlangsung hampir sepanjang malam pada 31 Agustus 2025. Para penggerak aksi menilai bahwa situasi keamanan di lapangan telah memasuki zona rawan, dengan potensi konflik antara massa dan aparat keamanan yang bisa meledak sewaktu-waktu. “Kami tidak ingin menambah daftar korban jiwa. Aksi damai yang awalnya kami perjuangkan kini berisiko berubah menjadi chaos,” ujar Dinda Putri, koordinator aksi dari Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI), dalam konferensi pers virtual yang disiarkan langsung dari Jakarta.

Gelombang Protes Menjalar, Kerusuhan Pecah di Beberapa Kota
Aksi protes yang awalnya dimulai di Jakarta pada pekan lalu ternyata tak bisa dibendung hanya di ibu kota. Dalam hitungan hari, gelombang kemarahan publik menjalar ke sejumlah kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, dan Yogyakarta. Di beberapa lokasi, demonstrasi berubah menjadi kerusuhan akibat bentrokan antara massa dan aparat kepolisian.

Insiden paling memilukan terjadi pada 28 Agustus 2025, saat sebuah kendaraan patroli polisi menabrak seorang pengemudi ojek online (ojol) di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Korban, bernama Rudi Hartono (32), meninggal dunia di tempat kejadian akibat luka berat. Insiden ini langsung memicu amarah luas, bukan hanya karena korban adalah tulang punggung keluarga, tetapi juga karena respons aparat yang dianggap lambat dan tidak empatik.


“Ini bukan sekadar soal kecelakaan. Ini soal ketidakadilan sistemik. Rakyat merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua, sementara elite politik sibuk menaikkan gaji sendiri,” kata Faisal Rahman, pengamat sosial politik dari Universitas Indonesia, dalam wawancara eksklusif dengan media ini.

Isu Kenaikan Gaji DPR Jadi Pemicu Utama Amuk Massa
Akar dari kemarahan publik sebenarnya sudah mengendap sejak awal bulan Agustus, ketika bocoran dokumen anggaran menunjukkan rencana kenaikan gaji dan tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga 40% di tahun anggaran 2026. Di tengah tekanan ekonomi yang masih dirasakan masyarakat—dengan inflasi yang belum stabil dan daya beli menurun—langkah tersebut dinilai sangat tidak sensitif.

Banyak warganet yang mempertanyakan logika kenaikan gaji bagi wakil rakyat yang dinilai minim kinerja, sementara rakyat biasa masih bergelut dengan harga sembako yang melambung. “Mereka naik gaji, kita naik harga,” menjadi salah satu tagar yang viral di media sosial selama beberapa hari terakhir.

Pemerintah Respons Cepat: Tunjangan DPR Dipangkas
Menyikapi eskalasi yang semakin tak terkendali, Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Partai Politik Koalisi, Prabowo Subianto, mengumumkan langkah tegas pada 31 Agustus 2025. Dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Prabowo menyampaikan bahwa seluruh partai politik pendukung pemerintah telah menyepakati pemangkasan tunjangan anggota DPR sebagai bentuk respons terhadap desakan publik.

“Kami mendengar suara rakyat. Pemangkasan tunjangan ini adalah komitmen kolektif dari seluruh fraksi politik untuk menunjukkan empati terhadap kondisi masyarakat. Ini bukan soal menghindari kritik, tapi soal menjaga stabilitas nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” tegas Prabowo.

Langkah ini disambut positif oleh sejumlah elemen masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan tokoh agama. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan konsistensi kebijakan tersebut. “Ini bagus sebagai langkah awal, tapi kita butuh reformasi struktural. Bukan hanya memangkas tunjangan, tapi juga mengevaluasi fungsi dan kinerja lembaga legislatif secara menyeluruh,” ujar Dr. Luthfi Hasan, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Waspada Hoaks dan Provokasi di Tengah Ketegangan
Di tengah situasi yang panas, pihak kepolisian juga mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap penyebaran hoaks dan konten provokatif di media sosial. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi puluhan akun palsu yang diduga sengaja menyebarkan informasi bohong untuk memicu kepanikan dan memperkeruh suasana.

“Ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu. Kami telah bekerja sama dengan Kominfo dan BIN untuk melacak dan menindak tegas pelaku penyebar hoaks,” tegas Sigit dalam siaran pers yang dirilis Divisi Humas Polri.

Beberapa hoaks yang sempat viral antara lain klaim bahwa “100 orang tewas dalam bentrokan di Jakarta” atau “DPR menolak semua tuntutan rakyat”, yang kemudian terbukti tidak benar. Polisi mengimbau masyarakat untuk selalu memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.

Baca juga: September 2025 Punya Long Weekend, Simak Jadwal dan Tips Liburannya!

TAG:
Sumber:

Berita Lainnya