Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio hingga Uya Kuya Dinonaktifkan dari DPR: Masih Dapat Gaji, Tunjangan, dan Belum Dipecat – Ini Penjelasan Lengkapnya

Nafa-Instagram-
Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio hingga Uya Kuya Dinonaktifkan dari DPR: Masih Dapat Gaji, Tunjangan, dan Belum Dipecat – Ini Penjelasan Lengkapnya
Lima nama publik figur yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) belakangan menjadi sorotan tajam publik. Mereka adalah Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Adies Kadir, yang secara resmi telah dinonaktifkan dari aktivitas keanggotaan DPR. Namun, meski status mereka kini “non-aktif”, bukan berarti mereka dipecat atau kehilangan hak-hak sebagai anggota dewan. Faktanya, kelima politisi tersebut masih tercatat sebagai anggota DPR RI, tetap menerima gaji, serta berhak atas berbagai tunjangan lainnya.
Penonaktifan kelima anggota DPR ini dilakukan menyusul gelombang kritik dan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja, sikap, dan kiprah mereka selama menjabat. Banyak warganet dan elemen masyarakat yang menilai bahwa kehadiran mereka di parlemen kurang memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan rakyat, terutama dalam pembahasan isu-isu strategis nasional.
Namun demikian, penonaktifan bukan berarti pemberhentian permanen. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, status “non-aktif” memiliki makna hukum dan administratif yang berbeda dengan pemecatan. Menurut sumber internal DPR RI, kelima anggota tersebut masih terdaftar secara resmi dalam struktur keanggotaan DPR periode 2019–2024, dan belum diberhentikan oleh partai politik atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sesuai mekanisme konstitusional.
Masih Terima Gaji dan Tunjangan: Ini Dasar Hukumnya
Salah satu hal yang memicu perdebatan luas adalah fakta bahwa Ahmad Sahroni dkk tetap menerima gaji pokok dan berbagai tunjangan negara, meski tidak lagi aktif menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Fenomena ini menuai pro dan kontra, terutama di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih rentan dan beban rakyat yang terus meningkat.
Namun, ternyata praktik ini sudah diatur dalam peraturan resmi DPR. Dalam Pasal 19 Ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, secara eksplisit disebutkan bahwa anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap berhak atas hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi pasal tersebut.
Artinya, meski tidak hadir dalam rapat, tidak terlibat dalam sidang, dan tidak berkontribusi dalam pengambilan keputusan legislatif, mereka tetap berhak atas gaji pokok, tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi, hingga tunjangan beras.
Daftar Lengkap Tunjangan Anggota DPR Non-Aktif
Berdasarkan Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, setiap anggota DPR, termasuk yang non-aktif, berhak atas sejumlah tunjangan sebagai berikut:
Tunjangan Istri/Suami: Sebesar 10% dari gaji pokok
Tunjangan Anak: Hingga 2 anak, masing-masing 5% dari gaji pokok
Tunjangan Jabatan: Diberikan berdasarkan posisi dan fraksi
Tunjangan Kehormatan: Sebagai bentuk penghargaan atas jabatan sebagai wakil rakyat
Tunjangan Komunikasi: Untuk mendukung aktivitas politik dan pelayanan konstituen
Tunjangan Beras: Diberikan dalam bentuk uang atau beras bulanan
Selain itu, berdasarkan Surat Sekjen DPR No. B/733/RT.01/09/2024, anggota DPR periode 2024–2029 juga akan menerima tunjangan rumah. Ini merupakan kompensasi karena fasilitas rumah dinas (rumah jabatan) tidak lagi disediakan oleh negara bagi anggota dewan periode baru.
Mengapa Tidak Langsung Dipecat?
Pertanyaan yang kerap muncul dari publik: “Jika sudah dinonaktifkan, kenapa tidak langsung dipecat?” Jawabannya terletak pada mekanisme konstitusional dan hierarki keanggotaan DPR.
Penonaktifan sementara bisa dilakukan oleh fraksi masing-masing atau Badan Kehormatan DPR karena berbagai alasan, seperti pelanggaran etik, masalah hukum, atau tekanan publik. Namun, untuk pemberhentian permanen, diperlukan proses yang lebih rumit dan formal, yaitu:
Keputusan dari Partai Politik: Anggota DPR harus diberhentikan secara resmi oleh partai yang mengusungnya.
Pengajuan ke Presiden dan MPR: Partai mengajukan surat pemberhentian ke Presiden melalui MPR.
Pengesahan oleh DPR dan MPR: Baru setelah proses administratif dan konstitusional selesai, nama yang bersangkutan dinyatakan keluar dari keanggotaan DPR.
Tanpa proses ini, status keanggotaan tetap sah secara hukum, meskipun yang bersangkutan tidak lagi aktif dalam aktivitas dewan.
Respons Publik: Kritik dan Tuntutan Evaluasi
Kebijakan penonaktifan tanpa pemberhentian permanen ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Banyak aktivis dan pengamat politik menilai bahwa sistem ini membuka celah bagi anggota dewan yang bermasalah untuk tetap menikmati fasilitas negara tanpa kinerja.
“Ini ironi besar. Rakyat membayar pajak untuk mendukung kinerja wakil rakyat, tapi justru ada yang dinonaktifkan tapi tetap dapat gaji. Ini bentuk ketidakadilan struktural,” ujar Dr. Rizal Panggabean, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia.
Di media sosial, tagar #DPRHarusEvaluasiUlang sempat menjadi trending topik. Banyak warganet yang menuntut transparansi dan akuntabilitas lebih besar dari lembaga legislatif. Mereka meminta agar DPR RI memperbarui mekanisme penonaktifan dan pemberhentian anggota, terutama jika terbukti tidak mampu menjalankan tugas dengan baik.
DPR Diminta Perbaiki Tata Kelola Internal
Menanggapi situasi ini, sejumlah pakar tata negara menyarankan agar DPR RI segera merevisi Peraturan Tata Tertib, khususnya terkait hak keuangan anggota yang dinonaktifkan. Salah satu usulan adalah pemotongan atau penangguhan tunjangan bagi anggota yang tidak aktif, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan fiskal.
“Jika seseorang tidak menjalankan tugasnya, maka logis jika hak finansialnya juga ditinjau ulang. Ini soal keadilan dan efisiensi anggaran negara,” tandas Prof. Siti Maimunah, guru besar ilmu hukum tata negara.