Tragedi Evia Maria Mangolo: Mahasiswa UNIMA Semester Akhir Diduga Jadi Korban Pelecehan Oknum Dosen Berinisial DAM, Pihak Kampus Berjanji Tuntaskan Kasus
mayat-soumen82hazra/pixabay-
Tragedi Evia Maria Mangolo: Mahasiswa UNIMA Semester Akhir Diduga Jadi Korban Pelecehan Oknum Dosen Berinisial DAM, Pihak Kampus Berjanji Tuntaskan Kasus
Dunia pendidikan Tanah Air kembali diguncang duka. Evia Maria Mangolo (EMM), mahasiswa semester delapan Universitas Negeri Manado (UNIMA), dilaporkan meninggal dunia dalam dugaan kaitannya dengan tindakan asusila oleh oknum dosen di kampusnya. Kabar ini pertama kali viral di platform media sosial Threads, memicu kemarahan publik dan sorotan tajam terhadap sistem perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Postingan awal yang mengungkap kasus ini diunggah oleh akun @cmutiamohi_. Dalam unggahannya, sang pengguna menyebut bahwa EMM—yang kini berada di ambang kelulusan—ditemukan meninggal dunia setelah diduga mengalami trauma berat akibat pelecehan seksual oleh salah satu dosennya. Isu ini dengan cepat menyebar dan menjadi trending, memicu gelombang emosi dari warganet yang menuntut keadilan bagi almarhumah.
Surat Terakhir yang Menyisakan Duka
Menurut informasi yang beredar di media sosial, sebelum mengakhiri hidupnya, EMM sempat menulis surat yang menyebut inisial oknum dosen pelaku: DAM. Surat tersebut—yang kini menjadi pusat perhatian—menyatakan bahwa tindakan asusila tersebut terjadi di lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) UNIMA, tempat EMM menempuh studi.
Meski identitas lengkap pelaku belum dikonfirmasi secara resmi, inisial tersebut telah memantik spekulasi luas di kalangan mahasiswa dan warganet. Banyak pihak menuntut transparansi penuh dari pihak universitas dan aparat penegak hukum agar kasus ini tidak berakhir dalam senyap, seperti banyak kasus kekerasan seksual sebelumnya.
Respons UNIMA: Duka, Komitmen, dan Ajakan Menahan Asumsi
Menanggapi desakan publik, pihak Universitas Negeri Manado akhirnya angkat suara melalui akun Instagram resmi @unima_1955. Dalam pernyataannya, UNIMA menyampaikan belasungkawa mendalam atas kepergian Evia Maria Mangolo, yang disebut sebagai “salah satu putra terbaik kampus”.
“Kami turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kepergian almarhumah. Universitas menanggapi serius segala bentuk dugaan pelanggaran etika dan hukum yang terjadi di lingkungan kampus,” demikian bunyi pernyataan resmi tersebut.
UNIMA juga menegaskan komitmennya untuk bekerja sama penuh dengan aparat kepolisian dalam mengusut kasus ini secara tuntas sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Pihak kampus meminta selurruh pihak—termasuk media dan masyarakat—untuk tidak berspekulasi atau menyebarkan informasi yang belum terverifikasi.
“Kami meminta masyarakat untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan serta menjaga privasi keluarga almarhumah yang tengah berduka,” tambah pernyataan tersebut.
Warganet Geram: “Ini Bukan Hanya Asusila, Tapi Pembunuhan!”
Respons publik terhadap kasus ini sangat emosional. Banyak warganet menyuarakan kemarahan atas sistem yang dinilai gagal melindungi korban kekerasan seksual. Akun @Iyraa.slay menulis, “Sistem kita tidak mendukung korban. Masyarakat patriarki cenderung percaya pada pelaku, sementara korban justru disalahkan.”
Pernyataan tersebut mencerminkan realitas pahit yang kerap dihadapi korban kekerasan seksual di Indonesia—mulai dari stigma sosial, minimnya dukungan psikologis, hingga ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum. Akun @paul.siburian bahkan menyebut: “Ini bukan sekadar tindakan asusila. Ini adalah pembunuhan!”
Kalimat itu menyiratkan kekecewaan mendalam terhadap struktur sosial dan institusional yang gagal mencegah tragedi ini. Bagi banyak orang, kematian EMM bukan hanya kehilangan nyawa seorang mahasiswi, tetapi juga cerminan dari sistem yang rusak dalam melindungi perempuan di ruang publik—termasuk di lingkungan pendidikan yang seharusnya aman.
Desakan untuk Reformasi Sistem Perlindungan Mahasiswa
Kasus Evia Maria Mangolo kembali mengingatkan pentingnya implementasi Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang telah disahkan pada 2022. Banyak pihak menilai bahwa meski regulasi sudah ada, implementasinya di level universitas masih jauh dari optimal.
Pakar hukum gender dari Universitas Sam Ratulangi, Dr. Lita Tumimomor, mengatakan, “Kampus harus memiliki Unit Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yang mandiri, terlatih, dan pro-korban. Tanpa itu, UU TPKS hanya menjadi catatan di atas kertas.”
Mahasiswa UNIMA dan berbagai elemen masyarakat sipil kini mulai menggalang aksi solidaritas, menuntut transparansi penyelidikan dan reformasi sistem perlindungan korban di kampus. Mereka juga mendesak agar pelaku, jika terbukti bersalah, dihukum seberat-beratnya tanpa ampun.