Hukuman Pidana Kerja Sosial Resmi Berlaku Januari 2026: Apa Itu dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia?

Hukuman Pidana Kerja Sosial Resmi Berlaku Januari 2026: Apa Itu dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia?

Ilustrasi kejahatan--

Hukuman Pidana Kerja Sosial Resmi Berlaku Januari 2026: Apa Itu dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia?

Mulai Januari 2026, Indonesia akan menyambut babak baru dalam sistem peradilan pidana nasional. Salah satu terobosan paling dinantikan adalah penerapan hukuman pidana kerja sosial—sebuah bentuk sanksi alternatif yang tidak lagi mengandalkan penjara sebagai satu-satunya solusi. Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, secara resmi mengumumkan hal ini, menegaskan bahwa kebijakan baru ini merupakan bagian integral dari berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah direvisi secara menyeluruh.



Namun, apa sebenarnya pidana kerja sosial itu? Mengapa kebijakan ini dianggap sebagai gebrakan besar dalam sistem peradilan Indonesia? Dan bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

Revolusi Paradigma: Dari Hukuman ke Pemulihan
Selama ini, sistem peradilan pidana di Indonesia cenderung bersifat represif—fokus pada hukuman penjara sebagai simbol balas dendam negara terhadap pelaku kejahatan. Namun, dengan berlakunya KUHP baru, paradigma tersebut berubah secara fundamental.

Kini, sistem hukum pidana nasional mengadopsi tiga pilar keadilan modern:


Keadilan korektif – memperbaiki perilaku pelaku kejahatan;
Keadilan restoratif – memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat;
Keadilan rehabilitatif – memastikan pelaku dan korban dapat kembali berfungsi secara sosial.
Dalam kerangka inilah pidana kerja sosial hadir sebagai alternatif yang lebih manusiawi, edukatif, dan konstruktif.

Dasar Hukum dan Kriteria Penerapan
Hukuman kerja sosial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, khususnya dalam Pasal 85. Menurut ketentuan tersebut, pidana kerja sosial hanya dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang:

Melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun penjara;
Hakim menjatuhkan hukuman penjara maksimal 6 bulan atau denda maksimal kategori II, yaitu Rp10 juta.
Namun, penerapannya tidak otomatis. Hakim wajib mempertimbangkan sejumlah faktor sebelum menjatuhkan sanksi ini, antara lain:

Pengakuan terdakwa atas perbuatannya;
Kemampuan fisik dan mental terdakwa untuk bekerja;
Persetujuan terdakwa setelah dijelaskan tujuan dan mekanisme kerja sosial;
Riwayat sosial dan latar belakang kehidupan terdakwa;
Perlindungan keselamatan kerja;
Keyakinan agama, kepercayaan, atau pandangan politik terdakwa;
Kemampuan terdakwa membayar denda (jika denda merupakan alternatif).
Aturan Pelaksanaan yang Ketat dan Berkeadilan
Pidana kerja sosial bukan sekadar “kerja paksa” atau bentuk hukuman yang bisa disalahgunakan. Undang-undang secara tegas melarang komersialisasi bentuk hukuman ini. Artinya, hasil kerja terpidana tidak boleh dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi atau instansi tertentu.

Durasi pelaksanaannya juga diatur secara ketat:

Minimal: 8 jam;
Maksimal: 240 jam;
Maksimal per hari: 8 jam;
Jangka waktu pelaksanaan: paling lama 6 bulan, dengan fleksibilitas agar tidak mengganggu mata pencaharian atau kegiatan produktif terpidana.
Contoh kegiatan kerja sosial yang mungkin dilakukan meliputi: membersihkan fasilitas umum, merawat taman kota, membantu kegiatan sosial di panti jompo, atau ikut dalam program lingkungan hidup seperti penanaman pohon.

Kerja Sama Antarinstansi: Kunci Keberhasilan
Untuk memastikan pelaksanaan yang efektif, Menteri Imipas Agus Andrianto mengungkapkan bahwa seluruh Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) dan Kepala Rumah Tahanan (Karutan) telah menjalin kerjasama formal dengan pemerintah daerah.

“Hasil koordinasi para Kalapas & Karutan dengan pemerintah daerah ini sudah membuat beberapa alternatif tempat dan jenis pekerjaan yang dikerjakan,” ujar Agus.

Kolaborasi ini menjamin bahwa lokasi dan jenis kerja sosial disesuaikan dengan kebutuhan lokal, serta mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi dan budaya setempat.

Pengawasan dan Sanksi Jika Melanggar
Meski bersifat non-penjara, pidana kerja sosial tetap memiliki mekanisme pengawasan yang ketat. Pengawasan dilakukan oleh jaksa, sementara pembimbing kemasyarakatan bertugas memberikan pendampingan dan bimbingan selama pelaksanaan.

Dasar pendampingan ini adalah Litmas (Penelitian Kemasyarakatan)—sebuah proses pengumpulan data sistematis yang mencakup latar belakang sosial, psikologis, dan ekonomi terpidana. Litmas menjadi acuan penting tidak hanya bagi pembimbing, tetapi juga bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menentukan jenis sanksi yang paling proporsional.

Jika terpidana tanpa alasan sah tidak menjalankan kewajibannya, maka putusan pengadilan akan memberlakukan sanksi tegas, antara lain:

Mengulang seluruh atau sebagian kerja sosial;
Menjalani hukuman penjara yang semula diganti;
Membayar denda atau menjalani hukuman penjara pengganti denda.
Putusan Hakim Wajib Detail dan Transparan
Sebagai bagian dari prinsip kepastian hukum, Pasal 85 ayat (9) KUHP mewajibkan hakim mencantumkan tiga hal penting dalam putusan:

Lamanya hukuman penjara atau besarnya denda yang sebenarnya dijatuhkan;
Durasi kerja sosial yang harus dijalani—termasuk jumlah jam per hari dan batas waktu penyelesaian;
Sanksi tegas jika terpidana mangkir dari kewajibannya.
Transparansi ini memastikan bahwa masyarakat, korban, dan pihak berwenang dapat memantau pelaksanaan sanksi secara objektif.

Mengapa Ini Penting bagi Masyarakat Indonesia?
Penerapan pidana kerja sosial bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kemanusiaan dan keberlanjutan sosial. Dengan menghindari penjara untuk pelanggaran ringan, negara dapat:

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya