Jelang Penutupan Tahun 2025, Rupiah Menguat Tipis—Tapi Tahun Ini Tetap Jadi Salah Satu yang Terlemah di Asia

Jelang Penutupan Tahun 2025, Rupiah Menguat Tipis—Tapi Tahun Ini Tetap Jadi Salah Satu yang Terlemah di Asia

uang-pixabay-

Jelang Penutupan Tahun 2025, Rupiah Menguat Tipis—Tapi Tahun Ini Tetap Jadi Salah Satu yang Terlemah di Asia

Di hari-hari terakhir tahun 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan sedikit tanda kelegaan. Pada penutupan perdagangan pasar spot Jumat (30/12/2025), rupiah menguat 0,11% dan ditutup di level Rp16.769 per dolar AS, menguat dari posisi sebelumnya di Rp16.788 per dolar AS. Namun, di balik kenaikan harian yang menenangkan ini, bayangan tekanan makroekonomi sepanjang tahun masih terasa sangat nyata.



Menurut data yang dirilis oleh Bloomberg, kenaikan rupiah jelang pergantian tahun ini lebih merupakan penyesuaian portofolio investor global dalam rangka year-end rebalancing—bukan indikasi perbaikan fundamental jangka panjang. Dalam konteks tahunan, rupiah justru mencatat kinerja suram: terdepresiasi sebesar 3,98% terhadap greenback sepanjang 2025. Akibatnya, mata uang Garuda ini menjadi salah satu mata uang Asia dengan performa terburuk kedua, hanya sedikit lebih baik daripada peso Filipina yang mengalami penurunan lebih dalam.

Tekanan Global dan Ketidakpastian Geopolitik Jadi Penghambat Utama
Perjalanan rupiah sepanjang 2025 tidak pernah benar-benar stabil. Sejak awal tahun, berbagai faktor eksternal terus menggerus kepercayaan investor terhadap aset-aset negara berkembang, termasuk Indonesia. Kebijakan moneter ketat yang dipertahankan oleh Federal Reserve (The Fed), ketegangan geopolitik di kawasan Eropa Timur dan Laut China Selatan, serta arus modal asing yang semakin selektif, menjadi tiga pilar utama tekanan terhadap nilai tukar.

Negara-negara yang mengandalkan arus modal jangka pendek dan memiliki defisit transaksi berjalan, seperti Indonesia, secara inheren lebih rentan terhadap fluktuasi sentimen global. Ketika investor asing mulai mengambil posisi “risk-off”—yaitu menjauh dari aset berisiko—rupiah menjadi salah satu korban pertama yang terkena dampaknya.


Kebijakan Fiskal Domestik Ikut Picu Kegelisahan Investor
Namun, sorotan tidak hanya tertuju pada faktor eksternal. Sepanjang 2025, pasar finansial juga merespons dengan cemas setiap langkah kebijakan fiskal dalam negeri. Program belanja pemerintah yang cenderung bersifat populis, wacana perluasan peran negara dalam pembiayaan proyek strategis, serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN, memicu kekhawatiran akan melemahnya disiplin fiskal.

Bahkan, setiap kali muncul sinyal—entah itu lewat pernyataan pejabat maupun rancangan kebijakan—yang dianggap menjauh dari komitmen defisit anggaran maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), pasar langsung bereaksi. Nilai tukar rupiah pun turun, dan imbal hasil (yield) surat utang negara naik sebagai respons terhadap risiko fiskal yang dirasakan semakin tinggi.

Roller Coaster Semester II: Intervensi BI Tak Cukup Tanpa Koordinasi Kebijakan
Pergerakan rupiah selama semester kedua 2025 bisa digambarkan seperti roller coaster—naik-turun secara ekstrem dalam waktu singkat. Di tengah gejolak tersebut, Bank Indonesia (BI) berupaya keras menstabilkan nilai tukar dengan berbagai instrumen, termasuk intervensi langsung di pasar valuta asing dan penggunaan monetary operations.

Meski cadangan devisa Indonesia masih tergolong kuat—berada di kisaran USD145 miliar hingga akhir Desember 2025—efektivitas intervensi BI mulai dipertanyakan. Tanpa dukungan kebijakan fiskal yang kredibel dan koordinasi lintas-lembaga yang solid antara pemerintah pusat, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), upaya stabilisasi nilai tukar cenderung bersifat temporer dan reaktif, bukan struktural.

Akhir Tahun Bukan Titik Balik—Hanya Jeda Sementara
Penguatan rupiah pada hari terakhir perdagangan tahun ini memang memberi sedikit napas lega bagi pelaku pasar. Namun, banyak analis sepakat bahwa penguatan ini bersifat teknis, murni dorongan dari penyesuaian posisi investor asing yang menutup buku tahunan dan menarik dana sementara dari pasar global.

“Jangan terjebak euforia,” kata seorang ekonom senior dari lembaga riset terkemuka di Jakarta. “Rupiah masih sangat rentan terhadap guncangan eksternal, apalagi kalau di dalam negeri tidak ada komitmen kuat untuk memperbaiki neraca fiskal dan memperkuat fundamental ekonomi jangka menengah.”

Tantangan 2026: Koordinasi Kebijakan Jadi Kunci
Memasuki 2026, tantangan bagi rupiah diperkirakan tidak akan berkurang. Dengan pemilu legislatif dan presiden yang semakin dekat, tekanan politik untuk menggelontorkan anggaran populis kemungkinan besar akan meningkat. Di sisi lain, The Fed diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga tinggi setidaknya hingga pertengahan tahun depan, yang berarti aliran modal asing ke negara berkembang masih akan fluktuatif.

Baca juga: 10 Negara dengan IQ Tertinggi di Dunia Tahun 2025: Di Mana Posisi Indonesia?

Untuk itu, koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Stabilitas rupiah bukan hanya soal cadangan devisa atau intervensi BI, melainkan juga cerminan dari kepercayaan global terhadap komitmen Indonesia dalam menjaga disiplin anggaran, meningkatkan iklim investasi, dan memperkuat struktur ekonomi domestik.

Penutup: Rupiah Butuh Lebih dari Sekadar “Hijau” di Akhir Tahun
Jelang pergantian tahun, hijaunya rupiah memang menyenangkan untuk dilihat. Namun, dalam dunia ekonomi, warna hijau tidak selalu berarti keberhasilan—terutama jika hanya bertahan selama beberapa jam menjelang tutup buku. Yang dibutuhkan bukan sekadar kenaikan jangka pendek, melainkan fundamental yang kokoh, kebijakan yang konsisten, dan komitmen politik yang berani untuk mengorbankan kepopuleran jangka pendek demi stabilitas jangka panjang.

Di tahun yang baru, rupiah tidak hanya butuh menguat—tapi juga butuh dipercaya. Dan kepercayaan itu hanya bisa dibangun lewat tindakan nyata, bukan sekadar harapan.

 

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya