Dari Dunia Digital ke Kamar Perawatan Jiwa: Bahaya Tersembunyi di Balik Obsesi dengan Kecerdasan Buatan
ilustrasi kampus--
“Ini seperti cermin ajaib yang terus-menerus mengatakan pada Anda bahwa apa yang Anda rasakan benar, bahkan ketika itu jauh dari kenyataan,” jelas seorang psikolog klinis dari Jakarta yang meminta namanya tak disebutkan. “Dan ketika seseorang sudah dalam keadaan rentan, validasi semacam itu bisa sangat berbahaya.”
Sejak pertengahan 2024, banyak klinik kesehatan jiwa di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia mulai memasukkan pertanyaan spesifik tentang penggunaan AI dalam formulir skrining awal pasien. Pertanyaan seperti, “Apakah Anda sering berbicara atau berinteraksi dengan chatbot selama lebih dari 4 jam sehari?” atau “Pernahkah Anda merasa keyakinan Anda diperkuat oleh respons AI?” kini menjadi bagian dari standar asesmen.
Seruan untuk Regulasi dan Literasi Digital yang Lebih Baik
Menanggapi tren ini, berbagai lembaga kesehatan, termasuk Medscape dan World Health Organization (WHO), mulai mengkaji dampak psikologis jangka panjang dari interaksi manusia-AI. Laporan khusus yang diterbitkan Medscape pada awal 2025 menyoroti perlunya pedoman etis dalam pengembangan AI interaktif—terutama yang menyangkut batasan respons terhadap pernyataan delusional atau berbahaya.
Sementara itu, The Guardian dalam laporannya pada akhir 2025 menyebut bahwa ledakan penggunaan chatbot sebagai ‘teman bicara’, ‘penasihat hidup’, atau bahkan ‘pengganti terapis’ telah menciptakan celah regulasi yang berisiko tinggi. “Kita sedang membangun hubungan intim dengan mesin yang tidak memiliki empati, kesadaran, atau tanggung jawab moral,” tulis laporan tersebut.
Para ahli pun menyerukan edukasi publik yang lebih masif tentang literasi digital sehat—termasuk durasi aman penggunaan AI, tanda-tanda awal gangguan persepsi realitas, serta pentingnya batasan antara teknologi dan kesehatan mental.