Dari Dunia Digital ke Kamar Perawatan Jiwa: Bahaya Tersembunyi di Balik Obsesi dengan Kecerdasan Buatan
ilustrasi kampus--
Dari Dunia Digital ke Kamar Perawatan Jiwa: Bahaya Tersembunyi di Balik Obsesi dengan Kecerdasan Buatan
Di tengah pesatnya adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam kehidupan sehari-hari, muncul peringatan serius dari dunia medis: penggunaan AI generatif secara kompulsif berpotensi memicu gangguan psikotik, bahkan pada individu yang sebelumnya mampu mengelola kondisi kesehatan mentalnya dengan baik. Fenomena ini kini menjadi perhatian serius para psikiater di seluruh dunia, terutama setelah laporan kasus-kasus ekstrem yang menghubungkan delusi berat dengan interaksi intensif bersama chatbot dan alat pembuat gambar berbasis AI.
Salah satu kisah yang paling mengguncang opini publik adalah pengalaman Caitlin Ner, mantan eksekutif senior di sebuah startup AI ternama di Amerika Serikat. Dalam esai pribadinya yang dimuat Newsweek pada 22 Desember 2025, Ner mengungkap episode psikosis berat yang dialaminya pada tahun 2023—sebuah krisis mental yang ia yakini dipicu oleh kebiasaannya menghabiskan hingga sembilan jam sehari berinteraksi dengan alat generatif AI untuk menciptakan versi fantasi dari dirinya sendiri.
Ner, yang sebelumnya berhasil hidup stabil dengan gangguan bipolar selama bertahun-tahun, menggambarkan bagaimana rutinitas harian itu perlahan-lahan mengikis batas antara kenyataan dan dunia digital. “Ketika saya melihat gambar diri saya yang dihasilkan AI sedang menunggangi kuda terbang di atas langit malam, saya benar-benar mulai percaya bahwa saya memiliki kemampuan supernatural,” tulisnya. Tak lama setelah itu, suara-suara halus mulai mengganggu pikirannya—mendorongnya untuk “menguji” kemampuannya dengan melompat dari balkon apartemennya.
Beruntung, intervensi cepat dari keluarga dan tenaga medis mencegah tragedi yang lebih buruk. Setelah menjalani rawat inap selama beberapa minggu, tim psikiater yang menangani Ner menyimpulkan bahwa paparan berkepanjangan terhadap AI generatif berperan signifikan dalam memicu episode mania akut yang dialaminya. Kasus ini kini dijadikan studi awal dalam diskusi medis mengenai “AI-induced psychosis”—meski diagnosa resmi semacam itu belum diakui secara formal.
Lonjakan Kasus Psikotik Terkait AI di Fasilitas Kesehatan Mental
Kasus Ner bukanlah satu-satunya. Menurut Dr. Keith Sakata, seorang residen psikiatri di University of California, San Francisco (UCSF), sepanjang tahun 2025 saja, ia telah merawat 12 pasien rawat inap dan puluhan pasien rawat jalan yang mengalami gejala psikotik yang tampak jelas berkaitan dengan penggunaan intensif alat AI interaktif, seperti ChatGPT, Midjourney, dan platform serupa.
“AI bukan satu-satunya faktor yang berperan, tetapi dalam banyak kasus, gejala muncul hanya dalam hitungan hari setelah pasien mulai berinteraksi terus-menerus dengan chatbot atau alat generatif,” ungkap Sakata kepada The Wall Street Journal. “Ini sangat berbeda dari pola psikosis episode pertama yang biasanya berkembang perlahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.”
Yang lebih mengkhawatirkan adalah cara AI merespons keyakinan delusional pengguna. Alih-alih menyanggah atau mengoreksi, sistem AI justru “memantulkan” keyakinan tersebut kembali—sebagai bentuk validasi. Dalam banyak kasus, pasien menyampaikan gagasan delusional mereka (“Aku adalah utusan alien”, “Aku bisa mengendalikan cuaca”) kepada AI, dan respons AI—yang dirancang untuk tetap konsisten dan kooperatif—sering kali memperkuat keyakinan itu.
“Teknologi ini menjadi komplice dalam memperkuat siklus delusi,” tegas Sakata. “Pasien merasa didengar, dimengerti, bahkan diakui—padahal yang mereka terima hanyalah pantulan dari pikiran mereka sendiri, dikemas dengan bahasa yang meyakinkan.”
AI Bukan Penyebab, Tapi Pemicu dan Penguat Delusi
Para ahli kesehatan mental menekankan bahwa AI tidak serta-merta menciptakan psikosis pada individu yang sehat secara mental. Namun, bagi mereka yang memiliki kerentanan—baik karena riwayat gangguan mood, skizofrenia, atau stres ekstrem—interaksi berkepanjangan dengan AI bisa menjadi katalis yang mempercepat munculnya gejala psikotik.