Samuel Ardi Kristanto, Pengusaha Properti Surabaya yang Usir Nenek 80 Tahun, Kini Ditangkap Polisi: Kisah di Balik Sengketa Lahan yang Mengguncang Kota Pahlawan
Samuel-Instagram-
Samuel Ardi Kristanto, Pengusaha Properti Surabaya yang Usir Nenek 80 Tahun, Kini Ditangkap Polisi: Kisah di Balik Sengketa Lahan yang Mengguncang Kota Pahlawan
Kasus pengusiran paksa terhadap seorang lansia berusia 80 tahun di Surabaya akhirnya memasuki babak baru. Samuel Ardi Kristanto (44), pria yang mengklaim sebagai pembeli lahan di Dukuh Kuwukan, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, resmi diamankan aparat kepolisian. Penangkapan ini memicu gelombang perhatian publik, tidak hanya karena kekejaman terhadap lansia, tetapi juga karena modus investasi properti yang diduga melanggar prosedur hukum.
Kasus ini berawal dari insiden viral pada Agustus 2025, ketika Nenek Elina Widjajanti diusir secara paksa dari rumah warisan keluarganya oleh sekelompok orang yang mengklaim memiliki hak atas tanah tersebut. Video pengusiran tersebut menyebar luas di media sosial, memicu kemarahan warganet dan kecaman dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia dan tokoh masyarakat Surabaya.
Profil Samuel Ardi Kristanto: Pengusaha Properti dengan Spesialisasi Bangunan Tua
Samuel Ardi Kristanto bukan nama asing di kalangan pelaku bisnis properti Surabaya. Pria yang berdomisili di kawasan Tandes, Surabaya Barat, dikenal sebagai broker properti yang mengkhususkan diri pada akuisisi bangunan lama di lokasi strategis. Sejak 2018, ia tercatat sebagai agen properti di salah satu perusahaan ternama di Jawa Timur.
Strategi bisnisnya tampak sistematis: membeli rumah atau bangunan tua dengan harga relatif murah, membongkarnya, lalu membangun hunian modern yang dijual kembali dengan margin keuntungan tinggi. Namun, model bisnis ini kali ini justru membawanya ke jeruji besi.
Dalam wawancara sebelum penangkapannya, Samuel sempat tampil di kanal media sosial pengacara kondang Surabaya, M. Sholeh (dikenal sebagai Cak Sholeh), untuk memberikan klarifikasi. Ia mengklaim telah berupaya berkomunikasi dengan penghuni rumah, termasuk meminta bukti kepemilikan sah atas lahan tersebut. Namun menurutnya, pihak keluarga Nenek Elina menyatakan bahwa seluruh dokumen sudah hilang.
Samuel juga mengaku sempat menawarkan tempat tinggal sementara di kawasan Jelidro bagi Nenek Elina. Namun tawaran itu ditolak oleh keluarga korban, yang merasa tidak perlu meninggalkan rumah warisan mereka. Yang paling menghebohkan, Samuel secara terbuka mengakui bahwa pembongkaran rumah dilakukan tanpa surat penetapan dari pengadilan—alasannya, demi efisiensi waktu dan biaya operasional.
Klaim Kepemilikan Nenek Elina dan Misteri Dokumen yang Hilang
Di sisi lain, keluarga Nenek Elina bersikeras bahwa rumah di Dukuh Kuwukan No. 27 tidak pernah dijual. Bangunan tersebut merupakan warisan dari kakak kandungnya, almarhumah Elisa Irawati, yang meninggal dunia pada 2017. Sebagai ahli waris sah, Elina meyakini bahwa rumah itu tetap menjadi miliknya secara hukum.
Namun, keanehan mulai muncul ketika dokumen administrasi kelurahan menunjukkan bahwa nama keluarga Elina telah dicoret dari Letter C (dokumen hak kepemilikan tanah di tingkat desa/kelurahan). Wellem, salah satu anggota keluarga, menduga kuat adanya praktik manipulasi administratif di lingkungan kelurahan setempat.
“Ada indikasi kuat bahwa proses pencoretan nama ibu dari dokumen dilakukan tanpa persetujuan atau pengetahuan keluarga. Ini menjadi celah yang digunakan pihak luar untuk mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut,” ungkap Wellem dalam wawancara terpisah.
Praktik semacam ini kerap menjadi pintu masuk bagi perebutan lahan di kota-kota besar, terutama di Surabaya yang tengah mengalami percepatan pembangunan. Lansia dan keluarga berpenghasilan rendah kerap menjadi korban pertama dari praktik spekulasi tanah yang tidak beretika.
Respons Cepat Polisi: Penahanan Samuel dan Penyelidikan Lebih Lanjut
Penangkapan Samuel Ardi Kristanto oleh Ditreskrimum Polda Jawa Timur pada Minggu, 28 Desember 2025, menjadi sinyal tegas bahwa tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) dalam sengketa tanah tak lagi bisa ditoleransi—apalagi jika melibatkan kekerasan terhadap lansia.