Skandal Korupsi Dana Bantuan Banjir Bandang di Samosir: Kadinsos Diduga Potong 15 Persen untuk Keuntungan Pribadi
Agus-Instagram-
Skandal Korupsi Dana Bantuan Banjir Bandang di Samosir: Kadinsos Diduga Potong 15 Persen untuk Keuntungan Pribadi
Sebuah skandal korupsi mengejutkan kembali mencoreng wajah pelayanan publik di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kali ini, sang tokoh utamanya adalah FAK, Kepala Dinas Sosial sekaligus merangkap jabatan di bidang Pemerintahan Masyarakat Desa. Ia kini harus mendekam di balik jeruji Lapas Kelas III Pangururan setelah terbukti diduga melakukan praktik korupsi sistematis terhadap dana bantuan korban banjir bandang tahun 2024.
Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Negeri Samosir mengungkap modus operandi licik yang digunakan FAK untuk menguras anggaran negara senilai lebih dari setengah miliar rupiah—tepatnya Rp516.298.000. Ironisnya, uang tersebut berasal dari dana bantuan kemanusiaan yang seharusnya menjadi penopang harapan bagi warga yang rumah dan mata pencahariannya hancur akibat bencana alam.
Dana Bantuan Rp1,5 Miliar Disalurkan dalam Bentuk Barang demi Raup Untung Pribadi
Awalnya, Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp1,5 miliar sebagai bagian dari program penguatan ekonomi bagi korban banjir bandang di Samosir. Rencana awal penyaluran bantuan adalah melalui mekanisme cash transfer atau bantuan langsung tunai—salah satu metode yang dianggap paling transparan dan efisien dalam membantu masyarakat terdampak bencana.
Namun, FAK justru mengubah mekanisme tersebut. Ia mengusulkan agar bantuan disalurkan dalam bentuk barang konsumsi dan kebutuhan pokok, lalu secara sepihak menunjuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) MA Marsada Tahi sebagai satu-satunya pemasok barang.
“Modusnya FAK mengubah mekanisme penyaluran bantuan yang semula direncanakan dalam bentuk bantuan tunai melalui cash transfer menjadi bantuan barang, dengan cara menyarankan dan menunjuk BUMDes MA Marsada Tahi sebagai penyedia barang,” ungkap Richard NP Simareme, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Samosir, dalam keterangan resminya, Senin (29/12/2025).
Fee 15 Persen: Potongan ‘Siluman’ dari Dana Kemanusiaan
Yang lebih mengejutkan, FAK tak hanya mengganti format bantuan—ia juga diduga meminta komisi sebesar 15 persen dari total nilai bantuan yang disalurkan melalui BUMDes tersebut. Artinya, dari Rp1,5 miliar anggaran bantuan, sekitar Rp225 juta diminta sebagai “fee” oleh FAK, yang kemudian diduga digunakan untuk kepentingan pribadinya dan pihak-pihak terkait lainnya.
“FAK juga meminta penyisihan sebesar 15 persen dari nilai bantuan kepada BUMDes MA Marsada Tahi, untuk keuntungan pribadinya dan pihak lain,” tegas Richard.
Modus semacam ini bukan hanya menyalahi prosedur administratif, tetapi juga melanggar prinsip dasar pelayanan sosial: keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Alih-alih membantu masyarakat yang sedang terpuruk, dana bantuan justru menjadi ladang korupsi bagi oknum pejabat yang seharusnya menjadi penjaga amanah rakyat.
Kerugian Negara Lebih dari Setengah Miliar Rupiah
Hasil investigasi mendalam oleh tim Kejaksaan Negeri Samosir, yang didukung audit dari Kantor Akuntan Publik Gideon Adi & Rekan, menunjukkan bahwa negara mengalami kerugian finansial sebesar Rp516.298.000 akibat perbuatan FAK. Angka ini bukan hanya mencerminkan kerugian materiil, tetapi juga representasi dari hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan daerah.
Kerugian tersebut berasal dari selisih harga antara nilai bantuan tunai yang seharusnya diterima warga dan nilai barang yang akhirnya disalurkan—dengan mark-up harga dan potongan tersembunyi yang disengaja.
Ditahan dan Terancam Hukuman Berat
Kini, FAK resmi ditahan di Lapas Kelas III Pangururan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Ia dijerat dengan pasal berlapis dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“FAK melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” terang Richard.
Jika terbukti bersalah, FAK terancam hukuman penjara maksimal seumur hidup, serta denda hingga Rp1 miliar. Selain itu, ia juga bisa dihukum tambahan berupa pencabutan hak politik dan kewajiban mengganti kerugian negara.
Pelajaran Pahit bagi Pemerintahan Daerah
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi sistem pengawasan di tingkat daerah. Bagaimana mungkin dana kemanusiaan yang ditujukan untuk korban bencana—yang notabene adalah kelompok paling rentan—bisa dikorupsi dengan cara yang terencana dan terstruktur?
Pakar kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Lintong Siregar, menilai bahwa lemahnya mekanisme check and balances serta minimnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan program sosial menjadi celah utama korupsi semacam ini terjadi.
“Transparansi anggaran harus diterapkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Masyarakat harus diberi akses untuk mengawasi, bukan hanya menerima bantuan tanpa tahu dari mana asalnya dan berapa nilainya sebenarnya,” ujar Lintong dalam wawancara terpisah.