Irine Wardhanie, Jurnalis CNN Indonesia yang Menangis di Tengah Banjir Aceh Tamiang: Anak-Anak Belum Makan, Tapi Bantuan Tak Kunjung Datang!
Irine-Instagram-
Irine Wardhanie, Jurnalis CNN Indonesia yang Menangis di Tengah Banjir Aceh Tamiang: Anak-Anak Belum Makan, Tapi Bantuan Tak Kunjung Datang!
Sebuah siaran langsung dari Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, menyentuh jutaan hati penonton di seluruh Indonesia. Di tengah reruntuhan pascabanjir dan longsor, jurnalis CNN Indonesia, Irine Wardhanie, tak kuasa menahan air matanya saat menyampaikan laporan dari wilayah yang masih terpuruk. Dengan suara yang bergetar, ia mengungkap realitas pedih: anak-anak yang belum makan, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan bantuan yang belum merata—meski bencana telah berlangsung lebih dari sepekan.
Kejujuran emosional Irine dalam menggambarkan situasi di lapangan bukan hanya membuatnya menjadi sorotan nasional, tetapi juga menjadi suara bagi warga yang terlupakan.
Banjir dan Longsor Aceh: Bencana yang Tak Kunjung Pulih
Sejak akhir November 2025, wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dilanda banjir dan tanah longsor hebat akibat curah hujan ekstrem yang tak kunjung reda. Di antara wilayah-wilayah terdampak, Aceh Tamiang menjadi salah satu yang paling parah. Ribuan rumah hanyut, akses jalan terputus, dan sistem logistik lumpuh total.
Meski bencana sudah berlangsung hampir tiga minggu, kondisi di lapangan jauh dari pulih. Banyak warga masih terjebak dalam keterbatasan, tanpa makanan layak, air bersih, maupun tempat tinggal sementara yang memadai. Di tengah keputusasaan itu, sebagian warga bahkan mengibarkan bendera putih—simbol permohonan pertolongan—dan mengirim surat kepada lembaga internasional seperti UNDP dan UNICEF.
Laporan Langsung yang Menyayat Hati
Dalam siaran langsung CNN Indonesia, Irine Wardhanie berdiri di atas tanah yang masih becek dan penuh puing. Ia menggambarkan dengan detail bagaimana warga bertahan hidup di tengah reruntuhan. Saat menyebut bahwa banyak anak-anak korban longsor belum mendapatkan makanan layak, suaranya mulai bergetar. Tak lama kemudian, air matanya jatuh—menjadi simbol empati yang tulus dari seorang jurnalis yang tak hanya melihat, tapi merasakan derita rakyatnya.
“Lihat lagi di sebelah sana, banyak anak-anak yang gak makan,” ucapnya sambil menahan isak. “Jadi wajar masyarakat Aceh mengibarkan bendera putih kepada pemerintah dan mengirim surat kepada UNDP dan UNICEF.”
Laporan tersebut menyentuh sensitivitas publik. Banyak yang merasa laporan Irine bukan sekadar liputan berita, tetapi seruan kemanusiaan yang disampaikan lewat lensa jurnalisme.
Warga Menitipkan Harapan kepada Media
Irine tidak hanya hadir sebagai pengamat, tapi juga sebagai jembatan antara korban bencana dan dunia luar. Warga Aceh Tamiang, yang merasa suara mereka tak terdengar, menitipkan pesan mendalam kepadanya: “Tolong sampaikan ke publik—kami butuh bantuan. Kami lelah bertahan tanpa kepastian.”
“Ini berat buat kami, seberat usaha relawan menembus wilayah-wilayah yang terdampak,” ujar Irine, menggambarkan betapa sulitnya menjangkau daerah terisolasi meski dalam kondisi normal.
Dalam siaran lanjutan pada 18 Desember 2025, Irine kembali menangis saat melaporkan kondisi pengungsi. Bahkan presenter di studio Jakarta terpaksa menghentikan dialog lebih cepat karena tak tega melihat tangisnya yang tak kunjung reda.
Siapa Irine Wardhanie? Jurnalis dengan Hati untuk Rakyat
Irine Wardhanie, atau yang memiliki nama lengkap Irine Octavianti Kusuma Wardhanie, bukanlah jurnalis biasa. Sebagai field producer dan reporter senior CNN Indonesia, ia telah mengabdikan lebih dari satu dekade dalam dunia jurnalistik. Karirnya mencakup peliputan isu-isu krusial: mulai dari politik, korupsi, kebijakan publik, HAM, hingga krisis lingkungan di berbagai negara Asia Tenggara.
Namun, pengalamannya di Aceh Tamiang menjadi titik balik emosional dalam kariernya. Ia mengaku bahwa momen itu bukan hanya tentang laporan berita, tapi tentang kecilnya manusia di hadapan keganasan alam—dan besar hati warga yang masih berharap meski terluka.
“Bagi saya, ini bukan hanya tugas liputan. Ini tentang tanggung jawab moral untuk menyuarakan yang tak bersuara,” ungkapnya dalam refleksi pribadinya.
Baca juga: Usai Pacaran 3 Tahun, Olivia Rodrigo dan Louis Partridge Dikabarkan Putus