Asosiasi Pengemudi Ojol Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif Hingga Perpres Bagi Hasil 90:10 Disahkan

Asosiasi Pengemudi Ojol Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif Hingga Perpres Bagi Hasil 90:10 Disahkan

Gojek-Instagram-

Asosiasi Pengemudi Ojol Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Tarif Hingga Perpres Bagi Hasil 90:10 Disahkan

Di tengah wacana pemerintah untuk menyesuaikan tarif ojek online (ojol), Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia mengambil sikap tegas: jangan naikkan tarif sebelum Peraturan Presiden (Perpres) tentang skema bagi hasil yang adil resmi diterbitkan. Dalam pernyataan resminya pada Jumat (12/12/2025), Garda menegaskan bahwa kenaikan tarif tanpa payung hukum yang melindungi hak-hak pengemudi berpotensi menjadi jalan bagi perusahaan aplikator untuk memperbesar keuntungan, bukan kesejahteraan para mitra pengemudi.



Ketua Umum Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyoroti bahwa perjuangan untuk keadilan distribusi pendapatan antara pengemudi dan platform digital telah berlangsung sejak 2018—namun hingga kini belum membuahkan hasil konkret. Padahal, para pengemudi ojol adalah tulang punggung sistem transportasi digital di Indonesia, yang setiap hari mengantar jutaan penumpang dan paket logistik, terutama di perkotaan.

“Sudah saatnya negara benar-benar berpihak kepada rakyat. Jangan menggunakan alasan menjaga ekosistem bisnis untuk mengabaikan hak jutaan pengemudi ojol,” tegas Igun dalam siaran pers yang dirilis di Jakarta.

Perpres Ojol: Harapan yang Tertunda Sejak 2018
Menurut Igun, meskipun pemerintahan telah berganti sejak masa Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto, komitmen nyata terhadap perlindungan sosial ekonomi pengemudi ojol masih belum terwujud. Garda menilai Perpres Ojol bukan sekadar aturan administratif, melainkan bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi strategis para pengemudi terhadap perekonomian dan mobilitas urban.


“Sejak 2018 Garda memperjuangkan keadilan ini, tetapi hingga berganti presiden sekali pun belum ada langkah konkret dari pemerintah. Kami menantikan hadirnya Perpres Ojol sebagai bentuk nyata keberpihakan negara,” ujarnya.

Tanpa adanya skema bagi hasil yang mengikat secara hukum, kenaikan tarif—yang seharusnya menjadi solusi atas tekanan biaya operasional—justru bisa berubah menjadi instrumen eksploitasi. “Kenaikan tarif tanpa pembatasan bagi hasil hanya memperbesar pendapatan aplikator, bukan pengemudi,” imbuh Igun.

Tuntutan Tiga Pilar: Bagi Hasil, Jaminan Sosial, dan Representasi
Garda Indonesia mengajukan tiga pilar utama yang harus menjadi fondasi Perpres Ojol:

Skema Bagi Hasil 90% untuk Pengemudi, 10% untuk Aplikator
Garda menegaskan bahwa komposisi tersebut adalah bentuk paling adil dan manusiawi, mengingat pengemudi adalah pihak yang bekerja langsung di lapangan—menghadapi risiko jalan raya, cuaca ekstrem, dan tekanan waktu—sedangkan perusahaan aplikator hanya berperan sebagai penyedia platform.
Kontribusi Wajib Aplikator 1–2% untuk Jaminan Sosial
Selain bagi hasil, Garda mendesak agar Perpres juga mengatur kewajiban perusahaan platform untuk menyisihkan 1% hingga 2% dari pendapatan mereka sebagai kontribusi ke negara. Dana tersebut akan dialokasikan untuk program jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan hari tua bagi pengemudi ojol yang selama ini berstatus sebagai pekerja informal.
Libatkan Organisasi Pengemudi dalam Penyusunan Kebijakan
Garda menekankan pentingnya melibatkan organisasi pengemudi yang berbadan hukum dan memiliki representasi di berbagai provinsi dalam setiap tahap perumusan kebijakan terkait ojol. Hal ini penting agar suara dari lapangan benar-benar didengar, bukan hanya kepentingan korporasi.
Pemerintah Mengakui Perlunya Penyesuaian Tarif, Tapi Tak Ada Kepastian Soal Perpres
Di sisi lain, Kementerian Perhubungan mengakui bahwa penyesuaian tarif ojol memang sudah menjadi kebutuhan mendesak. Pasalnya, selama lima tahun terakhir—sejak 2020—tidak ada revisi tarif, sementara biaya operasional terus meningkat akibat inflasi, kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), dan harga bahan bakar minyak (BBM).

Utomo Harmawan, Kepala Direktorat Angkutan Tidak Dalam Trayek Kementerian Perhubungan, mengatakan bahwa pihaknya sedang menggodok skema tarif baru dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi dan pengamat transportasi.

Baca juga: Siapa Istri dan Anak Erwin? Wakil Wali Kota Bandung yang Kini Jadi Tersangka Kasus Korupsi 2025, Bukan Orang Sembarangan?

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya