Pedagang Thrifting Diperbolehkan Jualan Sampai Lebaran 2026, Ini Penjelasan Kemendag

Pedagang Thrifting Diperbolehkan Jualan Sampai Lebaran 2026, Ini Penjelasan Kemendag

Mall di Jember--

Pedagang Thrifting Diperbolehkan Jualan Sampai Lebaran 2026, Ini Penjelasan Kemendag

Polemik seputar perdagangan pakaian bekas impor atau yang kerap disebut thrifting kembali mencuat di tengah masyarakat, terutama di kalangan pedagang kecil. Namun, dalam pernyataan terbarunya, Menteri Perdagangan Budi Santoso memberikan sedikit angin segar: pedagang thrifting diperbolehkan melanjutkan penjualan stok yang sudah ada hingga Lebaran 2026, meskipun pakaian-pakaian tersebut masuk dalam kategori impor ilegal.



Pernyataan tersebut disampaikan Budi saat ditemui di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025). Ia menegaskan bahwa fokus utama Kementerian Perdagangan (Kemendag) bukan pada penjual eceran di pasar tradisional atau pedagang kaki lima, melainkan pada pihak importir yang membawa masuk pakaian bekas secara ilegal—yang secara tegas dilarang oleh peraturan perundang-undangan Indonesia.

“Kita memang fokusnya ya impor bekas, itu kan memang dilarang. Kalau Kemendag itu tugasnya pengawasan di post border, jadi kita ingin fokus dulu di importirnya,” tegas Budi.

Permintaan Asosiasi Pedagang: Jeda Hingga Lebaran
Permintaan agar pedagang thrifting diberi waktu tambahan untuk menghabiskan stok dagangan sebelumnya datang dari Asosiasi Pedagang Pakaian Bekas di Pasar Gede Bage, Bandung, Jawa Barat. Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI pada Selasa (2/12/2025), Ketua Asosiasi, Dewa Iman Sulaeman, memohon agar pemerintah memberikan masa transisi hingga Idul Fitri 2026.


“Menjelang beberapa waktu ke depan, menjelang Idul Fitri, harapan kami masih bisa berdagang meraih penghasilan untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan anggota kami,” ujar Dewa.

Permintaan itu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa pekan terakhir, para pedagang thrifting dihadapkan pada ketidakpastian setelah Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan rencana pemerintah untuk memusnahkan seluruh stok pakaian bekas impor ilegal yang beredar. Pernyataan tersebut langsung memicu kekhawatiran di kalangan pedagang kecil yang bergantung pada bisnis tersebut untuk menghidupi keluarga mereka.

Kebingungan di Tengah Ketegasan Kebijakan
Bagi banyak pedagang thrifting, pakaian bekas bukan sekadar komoditas—melainkan sumber penghidupan utama. Mereka bukan pelaku impor, melainkan hanya pengecer yang membeli barang dari rantai distribusi bawah. Kini, di tengah ancaman penyitaan atau pemusnahan, mereka terjebak dalam situasi sulit: menjual barang berisiko, atau kehilangan penghasilan sepenuhnya.

Dewa menegaskan bahwa para pedagang tidak menolak aturan pemerintah, namun meminta pendekatan yang lebih humanis dan berkeadilan. Ia berharap pemerintah tidak langsung menyetop peredaran barang yang sudah berada di tangan pedagang, melainkan memberi ruang untuk menyelesaikan stok yang ada terlebih dahulu.

“Pemerintah jangan dulu menyetop barang yang sudah ada di kami. Biarkan kami menyelesaikan dulu barang itu sampai habis. Lalu, bagaimana potensi-potensi ke depan supaya ada solusi terbaik untuk para pedagang,” tuturnya.

Antara Regulasi dan Nasib Pedagang Kecil
Larangan impor pakaian bekas di Indonesia sendiri bukan hal baru. Sejak lama, pemerintah melarang impor tekstil bekas atas pertimbangan kesehatan, perlindungan industri dalam negeri, serta dampak lingkungan. Namun, kenyataannya, pasar thrifting tetap tumbuh subur—terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Banyak konsumen, terutama kalangan muda, tertarik dengan thrifting karena gaya unik, harga terjangkau, dan tren fashion berkelanjutan. Namun di balik tren itu, ada ribuan pedagang kecil yang hidupnya bergantung pada roda ekonomi informal ini.

Kini, pemerintah dihadapkan pada dilema: menegakkan aturan secara kaku demi melindungi industri lokal, atau memberikan ruang transisi yang adil bagi para pedagang yang tidak terlibat langsung dalam pelanggaran impor.

TAG:
Sumber:

l3

Berita Lainnya