Skandal Haji 2024: BPK Ungkap 4.531 Jemaah Tak Berhak Berangkat, Ribuan Calon Haji Sah Berpotensi Tertunda
Haji--
Skandal Haji 2024: BPK Ungkap 4.531 Jemaah Tak Berhak Berangkat, Ribuan Calon Haji Sah Berpotensi Tertunda
Sebuah temuan mengejutkan datang dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024. Dalam laporan resmi Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2025 yang dirilis pada Selasa (9/12/2025), BPK mengungkap bahwa sebanyak 4.531 calon jemaah haji ditemukan tidak berhak berangkat, namun tetap diberangkatkan.
Temuan ini menjadi sorotan tajam mengingat kuota haji Indonesia, yang merupakan yang terbesar di dunia, seharusnya dikelola dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Penyimpangan dalam sistem distribusi kuota tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga berdampak langsung pada nasib ribuan calon jemaah yang telah menunggu bertahun-tahun secara sah untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Rincian Temuan: Siapa Saja Jemaah "Tak Berhak"?
Berdasarkan hasil audit, BPK memaparkan tiga kategori utama jemaah yang seharusnya tidak memperoleh kuota:
61 jemaah yang ternyata telah menunaikan ibadah haji dalam 10 tahun terakhir – padahal aturan menyatakan seseorang hanya boleh berhaji dengan kuota pemerintah sekali seumur hidup, kecuali melalui jalur reguler swasta.
3.499 jemaah yang mengklaim sebagai mahram (pendamping wanita yang wajib dalam perjalanan haji) namun tidak memenuhi syarat administratif maupun syariah.
971 jemaah yang memperoleh kuota melalui mekanisme pelimpahan porsi, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan teknis dan administratif yang berlaku.
Angka-angka tersebut bukan sekadar statistik. Di balik angka itu, ada ribuan calon jemaah yang mungkin harus menunda keberangkatan hajinya karena kuota mereka "dimakan" oleh pihak yang tidak berhak.
Dampak Ganda: dari Ketidakadilan hingga Beban Fiskal Negara
Laporan BPK menegaskan bahwa praktik-praktik tersebut tidak hanya melanggar asas keadilan, tetapi juga menimbulkan dampak finansial yang signifikan terhadap penyelenggaraan haji nasional.
“Pemberangkatan jemaah yang tidak berhak berdampak pada penundaan keberangkatan jemaah yang memenuhi syarat, serta membebani pembiayaan subsidi haji yang dibiayai oleh negara,” demikian kutipan laporan BPK.
Subsidi haji memang dialokasikan pemerintah untuk membantu masyarakat agar bisa menunaikan ibadah haji dengan biaya lebih terjangkau. Namun, ketika alokasi tersebut "disalahgunakan", maka dana publik yang seharusnya menjadi jembatan spiritual bagi rakyat justru menjadi sarana bagi kelompok tertentu untuk menyalip antrean secara tidak sah.
Temuan Lebih Luas: 17 Masalah dalam Satu Laporan
Temuan soal jemaah tak berhak hanyalah puncak gunung es. Secara keseluruhan, BPK mencatat 8 temuan utama yang terdiri dari 17 permasalahan spesifik, antara lain:
6 kelemahan sistem pengendalian internal yang berpotensi membuka celah manipulasi data dan prosedur.
9 kasus ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku, dengan nilai kerugian potensial mencapai Rp596,88 miliar.
2 pelanggaran prinsip ekonomis, efisiensi, dan efektivitas (3E) senilai Rp779,27 juta, yang menunjukkan pemborosan atau penggunaan anggaran yang tidak optimal.
Temuan ini menunjukkan bahwa masalah dalam penyelenggaraan haji bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga struktural dan sistemik, yang membutuhkan perbaikan menyeluruh dari hulu ke hilir.
Rekomendasi BPK: Verifikasi Ulang dan Penertiban Kuota
Untuk mengatasi akar masalah, BPK merekomendasikan sejumlah langkah korektif kepada Menteri Agama, di antaranya:
Melakukan verifikasi ulang data calon jemaah secara kolaboratif dengan Kementerian Dalam Negeri, guna memastikan keabsahan identitas dan memastikan tidak ada duplikasi atau manipulasi data.
Membatalkan kuota bagi jemaah yang masuk melalui skema penggabungan mahram atau pelimpahan porsi yang tidak sesuai ketentuan.
Memperkuat sistem pengendalian internal di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, termasuk penerapan teknologi digital untuk meminimalkan intervensi manual dan potensi kecurangan.
Rekomendasi ini krusial, mengingat kepercayaan publik terhadap sistem haji sangat rentan terguncang ketika terjadi ketidakadilan dalam distribusi kuota.