Siapa Anak dan Istri Mbah Sadiman? Pahlawan Hijau yang Dulu Dicap Gila, Kini Jadi Simbol Harapan di Lereng Lawu, Bukan Orang Sembarangan?
Sadiman--
Siapa Anak dan Istri Mbah Sadiman? Pahlawan Hijau yang Dulu Dicap Gila, Kini Jadi Simbol Harapan di Lereng Lawu, Bukan Orang Sembarangan?
Di tengah meningkatnya kekhawatiran global terhadap perubahan iklim dan bencana alam, kisah kepahlawanan sederhana namun luar biasa dari seorang pria tua di Jawa Tengah kembali mencuri perhatian publik. Namanya Mbah Sadiman, seorang petani biasa yang kini dijuluki “penjaga hutan Lereng Lawu”. Namun, perjalanan heroiknya tak semulus yang dibayangkan—selama puluhan tahun, ia bahkan sempat dianggap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) hanya karena gigih menanam pohon di kawasan tandus yang nyaris tak tersentuh harapan.
Dari Cap “Gila” Hingga Dijuluki “Penjaga Mata Air”
Bayangkan: seorang lansia berusia 73 tahun berjalan bermil-mil menyusuri lereng Gunung Lawu, membawa bibit pohon di punggungnya, menanamnya satu per satu di tanah yang kering kerontang. Bagi warga sekitar di awal tahun 1990-an, aksi itu terlihat aneh—bahkan gila. Namun, Mbah Sadiman tak peduli. Ia tahu, tanah kelahirannya di Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, sedang sekarat.
Setiap musim kemarau, desanya mengalami krisis air parah. Warga harus berjalan jauh hanya untuk mendapatkan air bersih. Sebaliknya, saat musim hujan tiba, tanah gundul tak mampu menahan air, menyebabkan banjir bandang yang merusak lahan pertanian dan rumah warga. Melihat penderitaan itu, hati Mbah Sadiman tak tega. Ia pun memutuskan: “Kalau tak ada yang mau menanam pohon, biarlah aku yang memulai.”
29 Tahun Menanam Harapan: 15.000 Pohon yang Menghidupkan Kembali Lereng Lawu
Sejak tahun 1996, Mbah Sadiman mulai menanam pohon—terutama beringin dan elo—di kawasan Gunung Gendol, bagian dari Lereng Lawu. Tak ada dana, tak ada tim, bahkan tak ada dukungan awal dari pemerintah. Ia bekerja sendiri, dengan modal seadanya. Bibit pohon ia ambil dari hutan atau hasil tabungan kecil dari beternak kambing.
Perlahan tapi pasti, usahanya membuahkan hasil yang luar biasa. Hingga kini, lebih dari 15.000 pohon telah ditanamnya dengan tangan sendiri. Yang lebih menakjubkan: mata air yang dulu mengering kini kembali mengalir. Air itu bahkan dialirkan melalui sistem perpipaan sederhana ke rumah-rumah warga di sekitar Gunung Gendol.
“Dulu orang bilang saya gila karena terus-terusan nanam pohon di tempat yang katanya nggak bakal tumbuh. Tapi saya percaya: kalau kita rawat alam, alam pasti merawat kita balik,” ujar Mbah Sadiman dalam wawancara singkat beberapa waktu lalu.
Latar Belakang Sederhana Seorang Pejuang Lingkungan
Lahir pada 14 Februari 1954, Mbah Sadiman bukan berasal dari keluarga terpelajar atau berada. Ia menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1965, namun terpaksa menunda pendidikan selama dua tahun karena keterbatasan ekonomi. Ia akhirnya bisa melanjutkan ke SMP Marhaen Bulukerto, lalu sempat belajar satu tahun di STM Jatisrono jurusan Teknik Bangunan—sebelum akhirnya putus sekolah karena kondisi finansial keluarganya tak memungkinkan.
Meski tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, Mbah Sadiman memiliki kearifan lokal yang luar biasa. Ia memahami hubungan erat antara ekosistem hutan dan ketersediaan air. Pengetahuan itu tak datang dari buku, tapi dari pengalaman hidup, rasa cinta pada tanah kelahirannya, dan kepedulian terhadap generasi mendatang.
Kehidupan Sederhana yang Penuh Makna
Di luar aktivitasnya sebagai “penjaga hutan”, Mbah Sadiman menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Ia berternak kambing untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mencari pakan ternaknya di kawasan hutan lindung Perhutani di Lereng Gunung Gendol. Namun, ia tak pernah menebang pohon sembarangan—justru sebaliknya, ia menjaga setiap pohon yang ia tanam seperti anak sendiri.